Home Berita Utama OPM Harus Buktikan Dengan Fakta yang Kuat – Papuanesia.id

OPM Harus Buktikan Dengan Fakta yang Kuat – Papuanesia.id

by Papuaku
OPM Harus Buktikan Dengan Fakta yang Kuat - Cepos Online

Papuanesia.id –

 

Theo Hesegem

#Mereka yang Bekerja Untuk Fasilitas Publik di Papua Harus Jadi Bagian yang Dilindungi

JAYAPURA-Pasca tewasnya delapan orang karyawan Palapa Ring Timur Telematika (PTT) yang diduga diserang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Beoga pada Rabu (2/3) lalu, dimana salah satu korban adalah warga asli Ilaga, Kabupaten Puncak bernama Bebi Tabuni.
Muncul tudingan dari TPNPB-OPM bahwa Bebi adalah kaki tangan aparat, itulah alasan kenapa dia dibunuh.
Komnas HAM Papua beranggapan bahwa tudingan tersebut bisa saja menjadi pembenaran atas tindakan yang dilakukan kelompok ini (OPM-red). Namun dari aspek kemanusiaan, tindakan itu tidak dibenarkan apapun alasannya.
Kepala Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyampaikan, OPM yang dirinya pahami menjunjung prinsip HAM. Mestinya, mereka yang bekerja untuk pembangunan fasilitas publik di Papua menjadi bagian yang dilindungi oleh kelompok ini.
“Dalam prinsip HAM, semua orang memiliki hak untuk bekerja dan tinggal di mana saja di seluruh wilayah di dunia ini. Dengan memperhatikan batas-batas negara dan wilayah dan kebudayaan setempat,” jelas Frits kepada Cenderawasih Pos, Jumat (11/3).
Harusnya kata Frits, mereka harus mengedepankan prinsip dialog. Selain itu, tidak boleh terjebak dengan peringatan pengusiran bahwa orang non Papua siapa saja yang berada di daerah tertentu di Papua akan disikat.
“Jika ada seruan dari juru bicara kelompok ini yang meminta orang non Papua meninggalkan wilayah Papua, itu tidak bisa. Karena bertentangan dengan hak hidup manusia. Tudingan yang dilontarkan TPNPB justru berpotensi terjadinya konflik baru antara suku yang berada di wilayah Puncak,” ucapnya.
Lanjut Frits, jika Bebi Tabuni dituduh sebagai mitra aparat terkait, mestinya dia ditegur atau ditanya untuk hal apa terlibat. Bukan kemudian tanpa ada klarifikasi dan lain sebagainya lalu dilakukan tindakan kekerasan dengan cara membantai hingga ia meninggal dunia bersama 7 pekerja lainnya.
“Saya menyerukan kepada kelompok sipil bersenjata hentikan cara-cara kekerasan, apalagi pembantaian secara sadis. Itu justru membuat legitimasi tindakan keamanan di berbagai daerah, tanpa sadar korbannya adalah warga sipil yang ada di wilayah itu sendiri,” tuturnya.
Menurut Frits, tindakan yang dilakukan kelompok ini justru menjauhkan simpati dalam HAM untuk Papua. Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan, ketika negara sudah merubah pendekatan damai, pendekatan humanis. Mestinya momentum untuk dipakai dalam rangka menyampaikan aspirasi warga dalam bentuk apapun, termasuk mengkomunikasikan merdeka jika mereka bagian dari TPNPB.
“Dalam mekanisme HAM, sepanjang kekerasan menjadi bagian antara negara dan kelompok sipil bersenjata, maka tindakan itu legal ketika negara melakukan tindakan represi. Dalam mekanisme HAM selalu meghormati wilayah hukum dari negara-negara berdaulat. Jadi PBB tidak akan melakukan intervensi terhadap negara berdaulat,” tegasnya.
Secara terpisah, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela HAM) Theo Hesegem mengatakan, tudingan itu silakan saja. Tetapi tudingan itu perlu adanya pembuktian yang kuat, pembuktian bahwa Bebi adalah kaki tangannya TNI-Polri.
“Jika OPM menuding Bebi adalah kaki tangannya TNI-Polri, maka OPM harus membuktikan dengan fakta yang kuat. Misalkan dengan foto mungkin saat Bebi menerima uang atau lainnya dari aparat, atau mungkin menerima komunikasi dengan aparat,” jelas Theo.
Theo menegaskan, tudingan itu silakan saja. Tapi Bebi adalah seorang sipil di Ilaga yang sama sekali tidak bisa diperlakukan seperti itu dan tidak bisa ditembak begitu saja.
“Dia (Bebi-red) punya hak untuk hidup, tidak bisa menghilangkan nyawa orang dengan cara menuding yang tidak jelas lalu kemudian membunuhnya. Jika OPM memiliki bukti yang kuat silakan tunjukkan ke publik, sehingga semua orang bisa mengakui itu,” tegasnya.
Selaku pembela HAM, Theo sendiri tidak bisa percaya kepada kedua kelompok yang bertikai yakni TNI-Polri dan OPM yang sampai saat ini masih tahan pendapat. Masih mau menang sendiri, terlebih kedua kelompok yang bertikai ini merupakan pemain permanen bukan sementara.
Menurut Theo, kejadian tuding menuding bukan kali pertama untuk konflik bersenjata di Papua. Dimana sipil kerap dianggap sebagai kaki tangannya TNI-Polri maupun OPM. Namun apapun itu, tudingan harus dibuktikan.
“Yang pasti, warga sipil hak hidupnya tidak boleh dihilangkan dengan cara ditembak. Semua orang wajib dilindungi, kalau dia memang kaki tangan TNI-Polri kenapa ditembak, harusnya ditangkap sebagai orang asli di situ lalu menanyakan kepada yang bersangkutan sebelum dia ditembak mati,” tuturnya.
Terkait dengan peristiwa di Beoga juga beberapa peristiwa di Intan Jaya maupun Pegubin atau Yahukimo, perlunya investigasi yang mendalam. Terkhusus peristiwa di Beoga yang menewaskan 8 pekerja, tim indenpenden harus menemui kedua belah pihak untuk membuktikan fakta yang ada.
“Harus ada tim independen untuk mengusut kasus ini maupun kasus lainnya yang terjadi di beberapa daerah di Papua. Tim independen ini nantinya tidak boleh diganggu oleh siapapun termasuk TNI-Polri dan OPM, sehingga bebas melakukan investigasi secara menyeluruh. Sebab, dugaan dugaan seperti ini sering terjadi dan bukan kali pertama,” ucapnya.
Theo sendiri mengaku tidak kaget dengan peristiwa di Beoga. Sebab beberapa kejadian pernah terjadi di wilayah Papua lainnya. Mulai dari penganiayaan anak kecil hingga meninggal dunia, penghilangan orang hingga penembakan ibu dan anak yang diduga dilakukan oleh aparat. (fia/nat)

Continue Reading

Sumber: [1]

Related Posts