Home Papua Riak “All Eyes on Papua”: Perjuangan Melawan Hilangnya Hutan Adat

Riak “All Eyes on Papua”: Perjuangan Melawan Hilangnya Hutan Adat

by Nayanika Candramaya
hutan adat

Suatu fenomena membara menyebar di media sosial: “All Eyes on Papua” menjadi tagar yang melambung tinggi, mengundang sorotan dunia. Namun, tahukah Anda bagaimana semua ini dimulai?

Semuanya dimulai dengan unggahan yang viral di Instagram pada awal Juni. Sebuah foto hitam-putih, sederhana namun penuh makna, dengan sebuah mata yang menatap tajam. Tulisan di sekelilingnya menyebutkan “All Eyes on Papua”. Sebuah panggilan, sebuah ajakan untuk melihat ke arah Papua.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik slogan ini? Gambar tersebut tidak hanya sekadar ungkapan kosong. Ia merupakan panggilan terhadap sebuah perjuangan yang membara di tanah Papua, khususnya dari Suku Awyu.

Latar belakang cerita ini sangat kuat. Di Boven Digoel, Papua Selatan, terdapat lahan hutan seluas 36 ribu hektar, lebih luas dari separuh Jakarta, yang diizinkan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Masalahnya, lahan ini adalah tanah adat bagi masyarakat Awyu.

Apa arti hutan bagi mereka? Bagi masyarakat tradisional adat Papua, hutan merupakan asal-usul kehidupan yang harus dijaga. Tanah, hutan, sungai, semuanya adalah sumber mata pencaharian, pangan, dan identitas budaya. Hutan adalah “rekening abadi” mereka.

Namun, dengan izin yang diberikan kepada PT. Indo Asiana Lestari, hak mereka diabaikan. Suku Awyu merasa terancam, bukan hanya oleh hilangnya hutan, tetapi juga oleh kehilangan sumber air dan kehidupan mereka.

Dalam aksi protes yang penuh semangat di Jakarta, para perwakilan Suku Awyu memperjuangkan hak mereka di hadapan Mahkamah Agung. Mereka menari, menyanyi, membawa poster bertuliskan “Selamatkan Hutan Adat Papua” dan “Papua Bukan Tanah Kosong”. Namun, perjalanan mereka di ranah hukum tidaklah mudah.

Meskipun telah kalah di dua tingkat pengadilan sebelumnya, Suku Awyu tidak menyerah. Mereka terus memperjuangkan hak mereka dengan harapan dapat menemukan keadilan di Mahkamah Agung.

Dalam tengah riak politik dan masalah hukum yang kompleks, suara solidaritas dari berbagai pihak menjadi harapan. Tagar “All Eyes on Papua” menjadi panggilan untuk semua orang, agar membuka mata terhadap perjuangan Suku Awyu dan tantangan besar yang dihadapi Papua.

Namun, ini bukan hanya masalah Papua. Ini adalah cermin bagi seluruh Indonesia. Bagaimana kita menanggapi ketidakadilan? Apakah kita hanya diam atau berdiri bersama dalam solidaritas?

Mungkin saatnya bagi kita semua untuk membuka mata, menggali lebih dalam, dan bersuara. Bukan hanya untuk Papua, tapi untuk semua yang memerlukan keadilan dan perlindungan.

Related Posts