Ilustrasi Matahari. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan pelemahan medan magnet Bumi terkait dengan fenomena Grand Solar Minimum (GSM) atau Matahari Lockdown. Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto mengatakan GSM mempengaruhi polaritas magnet matahari terhadap bumi.
“Ini masih berkaitan dengan grand solar minima (GSM) atau matahari lockdown,” ujar Siswanto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/5).
Siswanto menuturkan jumlah bintik matahari (sunspot) maksimum dan minimum bervariasi dalam siklus ke siklus, seperti halnya siklus 11 tahunan ini. Dia menjelaskan sunspot adalah daerah dengan medan magnet photospheric yang kuat yang memiliki dua polaritas, yakni utara dan selatan.
Adapun hitungannya, lanjut Siswanto bervariasi dengan perkiraan periode 11 tahun. Bahkan, dia berkata siklus medan magnetik matahari justru dua kali lebih lama periodenya, yakni siklus 22 tahunan.
Lebih lanjut, Siswanto menyampaikan pergerakan fluks magnetik ke arah kutub selama siklus bintik matahari mengubah polaritas medan magnet kutub matahari setiap 11 tahun tersebut.
Kedua daerah kutub yang sebagai lubang koronal kutub, kata dia, juga mengendalikan energi angin matahari dan medan magnet antarplanet yang sampai ke bumi.
“Medan magnet bumi dipengaruhi oleh angin matahari dan medan antarplanet. Fluks momentum angin matahari menentukan ukuran tebal dan tingkat magnetosfer,” ujarnya.
Lebih lanjut, Siswanto menyampaikan kecepatan angin matahari, kekuatan, dan arah medan magnet antarplanet mempengaruhi kopling energi dari angin matahari ke magnetosfer.
Sebagian besar energi ini, lanjut dia, disimpan sementara di magnetosfer untuk akhirnya disimpan di atmosfer atas dalam proses auroral dan arus energi panas.
“Arus-arus ini pada gilirannya menghasilkan medan magnet yang bervariasi waktu yang telah lama terdeteksi di permukaan bumi dan disebut sebagai aktivitas geomagnetik. Banyak indeks telah dikembangkan untuk menandai aktivitas geomagnetik,” ujar Siswanto.
“Indeks-indeks ini berkorelasi dengan sifat-sifat angin matahari dan medan magnet antarplanet dalam beberapa hubungan yang berbeda,” ujarnya.
Di sisi lain, Siswanto berkata sunspot minimum matahari saat ini (matahari lockdown), yang dikenal sebagai event SC 24 termasuk yang tidak biasa. Sebab, dia berkata jumlah sunspot sangat rendah bahkan terendah di 2020 ini.
“GSM sebelumnya telah terjadi pada tahun 1996, 1986, 1976, dan 1966, sehingga siklus terbaru diharapkan mencapai minimum pada tahun 2006, tetapi ternyata terjadi pada tahun 2007, jumlah bintik matahari dan setiap indikator lain dari ‘aktivitas’ matahari terus menurun, hingga 2008, dan hingga pertengahan 2009,” ujar Siswanto.
Sebelumnya, Ilmuwan dari Europan Space Agency (ESA) memberikan hipotesis soal pelemahan misterius medan magnet Bumi yang disebut menjadi tanda bakal terbaliknya medan magnet dari Kutub Utara dan Selatan.
Pelemahan ini terjadi di area yang terbentang antara Amerika Selatan dan Afrika yang kemudian dikenal dengan julukan South Atlantic Anomaly.
Sebab hal ini disebutkan telah terjadi berkali-kali di sepanjang sejarah planet Bumi. Pembalikan kutub ini menurut ESA sudah tertunda kira-kira sekitar 250 ribu tahun. Namun teori ini tak bisa diterima sepenuhnya oleh ilmuwan lain.
Dalam laporan ilmuwan ESA disebutkan bahwa dua abad ke belakang, kekuatan medan magnet Bumi telah berkurang sembilan persen. Fenomena melemahnya medan magnet ini memang tidak menimbulkan risiko bagi manusia atau mahkluk lain di permukaan Bumi.
Namun, pelemahan ini berpengaruh pada pesawat ruang angkasa dan satelit yang melayang di orbit rendah yang tengah ada di wilayah tersebut.
Pesawat-pesawat ini kemungkinan mengalami malfungsi ketika melewati kawasan dengan medan magnet yang melemah. Medan magnet juga melindungi Bumi dari radiasi kosmik dan partikel bermuatan yang dipancarkan matahari.
(jps/DAL)