Home News Status Istimewa Hong Kong Terancam Trump, Ini ‘Balasan’ China

Status Istimewa Hong Kong Terancam Trump, Ini ‘Balasan’ China

by Papua Damai
Status Istimewa Hong Kong Terancam Trump, Ini ‘Balasan’ China

Infografis: Perlombaan Temukan Vaksin Corona: Xi Jinping Ungguli TrumpFoto: Infografis/Perlombaan Temukan Vaksin Corona: Xi Jinping Ungguli Trump/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia – Langkah Amerika Serikat (AS) yang mencampuri urusan China dan Hong Kong ditakdirkan untuk gagal, kata surat kabar milik Partai Komunis China yang berkuasa, People’s Daily, Sabtu (30/5/2020).

Hal itu disampaikan sebagai tanggapan atas pengumuman Presiden AS Donald Trump yang mengancam bakal bertindak dan berniat mengakhiri status istimewa Hong Kong setelah parlemen China menyetujui rencana pemberlakuan undang-undang baru di legislatif.

“Menjadi tekad kuat semua orang China untuk menentang campur tangan kekuatan eksternal mana pun dalam urusan Hong Kong,” kata surat kabar itu, sebagaimana dilaporkan CNBC International, Minggu (31/5/2020).

“Tindakan hegemonik yang mencoba untuk mencampuri urusan Hong Kong dan mencampuri urusan dalam negeri China tidak akan membuat orang-orang China takut, dan pasti akan gagal,” katanya.

“Upaya memaksa China untuk membuat konsesi pada kepentingan inti termasuk kedaulatan dan keamanan melalui pemerasan atau pemaksaan … hanya bisa menjadi angan-angan dan mimpi belaka!”

Sebelumnya pada Kamis, Kongres Rakyat Nasional China telah mengadakan pemungutan suara untuk memberlakukan undang-undang keamanan di Hong Kong. Langkah ini dianggap para pakar dan banyak pihak sebagai bentuk pelanggaran janji China untuk membiarkan Hong Kong memiliki kebebasan atau tingkat otonomi sendiri.

Janji itu tertuang dalam kerangka “satu negara, dua sistem” yang disepakati China dengan Inggris sebelum Inggris menyerahkan Hong Kong kembali ke China pada 1997. Di bawah kerangka itu, Hong Kong akan dapat mempertahankan lembaga-lembaga sipil, hukum dan ekonomi yang terpisah dari China. Ketentuan itu akan berlaku selama 50 tahun atau hingga 2047.

Akibatnya aturan itu, banyak negara, termasuk Amerika Serikat, mengajukan undang-undang yang memungkinkan mereka untuk memperlakukan Hong Kong sebagai entitas perdagangan dan ekonomi yang terpisah dengan China. Dengan undang-undang khusus dengan AS, Hong Kong mendapat berbagai kelebihan yang tidak dimiliki China.

Namun, berbagai kerusuhan yang terjadi di Hong Kong akibat upaya intervensi China telah membuat AS memikirkan kembali status khusus yang dimiliki pusat keuangan Asia itu. Trump mengatakan pemerintah akan mulai menghilangkan “berbagai” perjanjian yang telah menguntungkan Hong Kong, termasuk pembebasan dari hambatan ekspor tertentu.

“China telah menggantikan formula yang dijanjikan yaitu dari ‘satu negara, dua sistem’, menjadi ‘satu negara, satu sistem’,” kata Trump.

Hal serupa juga telah disampaikan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo kepada Kongres pada Rabu lalu. Pompeo mengatakan Hong Kong tidak lagi layak atas status perdagangan dan komersial istimewa yang telah dinikmatinya dari AS.

“Tidak ada alasan yang dapat menyatakan bahwa hari ini Hong Kong bisa mempertahankan otonomi tingkat tinggi dari China melihat apa yang ada di lapangan,” katanya dalam hasil sertifikasinya kepada Kongres, dikutip AFP.

Namun demikian, belum jelas apakah dampak keputusan itu akan terlihat pada perusahaan AS yang beroperasi di Hong Kong, atau pada posisi kota sebagai pusat keuangan utama Asia.

China, sementara itu, belum memberikan perincian tentang langkah-langkah spesifik apa yang akan diambil sebagai tanggapan, meskipun editorial People’s Daily mengatakan China siap untuk membuat “serangan balik yang tegas dan gagal dengan memalukan”.

Namun, Sekretaris Kehakiman Teresa Cheng di Hong Kong telah mengeluarkan tanggapannya atas keputusan AS. Ia menyebut langkah AS sepenuhnya salah dan menyebut langkah yang dilakukan China sebagai hal yang wajar.

“Otoritas pusat China memiliki hak absolut untuk mengambil tindakan terhadap keamanan nasional terkait Hong Kong,” kata Cheng kepada wartawan.

“Negara lain mana pun yang mencoba menggunakan paksaan atau cara apa pun dengan maksud untuk mengganggu hak berdaulat suatu negara untuk mengeluarkan hukum keamanan nasionalnya sendiri bisa dibilang melanggar prinsip non-intervensi di bawah hukum internasional publik, dan itu tidak dapat diterima.”

[Gambas:Video CNBC]

(sef/sef)

Read More

Related Posts