Ilmuwan menemukan metode memprediski aktivitas matahari dengan lebih akurat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fenomena cuaca luar angkasa yang ekstrem dapat berdampak signifikan pada sistem seperti satelit, komunikasi, distribusi daya, dan penerbangan. Hal ini diketahui terjadi karena didorong oleh aktivitas matahari, yang memiliki siklus tidak teratur, sekitar 11 tahun.
Kini, peneliti menyusum sebuah ‘sun clock’ atau jam matahari yang baru dan teratur yang menunjukkan aktivitas matahari. Analisis yang dilakukan tim peneliti menunjukkan bahwa meski peristiwa ekstrem dapat terjadi kapan saja, ini lebih kecil kemungkinannya terjadi pada interval tenang.
Jam akan membantu para ilmuwan untuk menentukan secara lebih tepat kapan risiko badai matahari paling tinggi. Selain itu juga membantu merencanakan dampak cuaca luar angkasa pada infrastruktur ruang angkasa secara menyeluruh.
Diterbitkan di Geophysical Research Letters oleh tim yang dipimpin oleh University of Warwick, jam matahari menggunakan catatan nomor bintik matahari harian yang tersedia sejak 1818. Data ini dipakai untuk memetakan aktivitas matahari di atas 18 siklus matahari ke siklus 11 tahun standar atau ‘jam’.
Tidak ada dua siklus matahari yang sama, tetapi menggunakan teknik matematika yang dikenal sebagai Hilbert transform, para peneliti mampu menstandarisasi siklus aktivitas matahari untuk pertama kalinya.
Jam tersebut mengungkapkan bahwa transisi antara periode tenang dan aktif dalam aktivitas matahari sangat tajam. Setelah jam dibuat dari pengamatan sunspot, jam dapat digunakan untuk melakukan pengamatan aktivitas matahari dan cuaca luar angkasa.
Setelah waktu on/off yang diperoleh dari jam, tingkat kejadian peristiwa ekstrim ketika matahari aktif atau tenang dapat dihitung. Penulis utama studi, Sandra Chapman dari Pusat Fusi Luar Angkasa dan Astrofisika University of Warwick mengatakan para ilmuwan telah mencoba menciptakan cara baru mengubah data dan apa yang tampak berantakan dan rumit, namun tiba-tiba menjadi sangat sederhana.
Dalam contoh ini, metode jam matahari menunjukkan waktu aktifkan dan matikan yang jelas membatasi interval waktu tenang dan aktif untuk cuaca luar angkasa untuk pertama kalinya.
“Peristiwa besar dapat terjadi kapan saja, tetapi jauh lebih mungkin di sekitar matahari maksimum,” ujar Chapman.
Kemampuan untuk memperkirakan risiko terjadinya badai super matahari di masa depan sangat penting untuk teknologi berbasis ruang dan darat yang sangat sensitif terhadap cuaca luar angkasa. Penelitian yang ditulis bersama oleh Scott Mcintosh dari Pusat Nasional untuk Penelitian Atmosfer, Robert Leamon dari Universitas Maryland dan Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA dan Nick Watkins dari University of Warwick, serta London School of Economics and Political Science.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Persepektif Republika.co.id, Klik di Sini