Home News Analisis Ahli Soal Dentuman Misterius Sepanjang April-Mei

Analisis Ahli Soal Dentuman Misterius Sepanjang April-Mei

by Papua Damai
Analisis Ahli Soal Dentuman Misterius Sepanjang April-Mei

Pesawat komersil melintas dilatari halo matahari, di Padang, Sumatera Barat, Rabu (4/3). Fenomena bulan bercincin tersebut merupakan hasil pembelokan cahaya matahari oleh partikel uap air di atmosfer, yang terbentuk karena dispersi butir-butir es atau air pada awan sirrus oleh sinar ultraviolet. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/Rei/pd/15.Ilustrasi. (Iggoy el Fitra)

Jakarta, CNN Indonesia — Suara dentuman misterius beberapa kali terdengar oleh warga di sejumlah wilayah di Indonesia pada tahun 2020. Beragaman analisis pun bermunculan pasca kejadian tersebut.

Berdasarkan catatan sepanjang tahun 2020, dentuman misterius pertama terjadi pada tanggal 11 April 2020 sekitar pukul 01.00-03.00 WIB. Kala itu, suara dentuman terdengar sebagain orang di Bogor, Sukabumi, Depok, Pelabuhan Ratu, DKI Jakarta dan Tangerang, Tangerang Selatan, Cileduk, hingga Serang.

Dentuman misterius kedua terjadi pada 11 Mei 2020 sekitar pukul 00.00-02.00 WIB. Sebagian orang di Ngawi, Sragen, Boyolali, hingga Grobokan melaporkan mendegar suara dentuman misterius tersebut.

Dentuman ketiga terjadi pada 21 dan 22 Mei 2020. Sebagian orang yang tinggal di Kota Bandung dan sekitarnya mengaku mendengar dentuman misterius tersebut.

Ketika ditanya apakah fenomena dentuman ini terkait dengan usia Bumi sudah berusia tua, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai hal tersebut sulit untuk dikaitkan.

“Apakah Bumi sudah tua? Iya. Bumi sudah berumur 4,5 milyar tahun. Tapi apa Bumi merenta? Tidak,” ujarnya.

Dia justru menyatakan aktivitas manusialah yang memberi pengaruh terhadap kondisi bumi.

BMKG menyatakan suara dentuman yang terjadi pada tanggal 11 April dan 11 Mei bukan dari  aktivitas Litosfer (bagian kulit Bumi) atau atmosfer. Dari data-data yang ada, BMKG menduga sumber dentuman berasal dari aktivitas di ionosfer.

Ionosfer adalah lapisan terluar atmosfer Bumi. Fungsi lapisan ini salah satunya memengaruhi rambagan radio ke tempat yang jauh di muka Bumi. Lapisan ini juga menjadi pelindung Bumi dari benda angkasa yang masuk ke Bumi. Sebab, pada lapisan ini benda angkasa itu terbakar dan terurai.

Menurut Kepala Sub Bidang Analisis Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG, Suaidi Ahadi, kesimpulan itu didapat dari data monitoring alat BMKG.

“Untuk dentuman kemarin, dapat  dilihat  dengan baik dengan alat magnetometer yang kami punya. Dari sinyal tersebut menyimpulkan  bahwa energi  yang  dihasillan  bukan  bersumber dari litosfer dan atmosfer, tapi pada lapisan ionosfer,” ujar Suaidi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/6).

Suaidi menyebut keyakinan BMKG bahwa dentuman pada 11 April dan 11 Mei bersumber dari lapisan ionosfer didukung oleh data jaringan  GPS  global. Menurutnya, BMKG menggunakan data itu untuk melihat daerah terdampak dari fenomena alam tersebut.

Hal itu, kata dia dilakukan karena data dari jaringan monitoring petir nasional milik BMKG tidak menemukan aktivitas petir di atmosfer pada waktu kejadian.

“Ternyata data GPS saling mendukung lokasi sumber terjadi Ionosfer atau lapisan Troposfer atas,” ujarnya.

Suadi menyampaikan aktivitas di Ionosfer merupakan fenomena biasa. Dia menyebut fenomena itu akibat aktivitas plasma elektromagnetik yang terjadi pada lapisan tersebut.  

Sedangkan aktivitas plasma elektromagnetik, lanjut Suaidi disebabkan ganguan plasma Ionosfer atau efek pantul dari magnetotail (Sub Storm) yang diakibatkan oleh badai magnetik dari Matahari (CME) beberapa hari sebelumnya.

“Bunyi dentuman tersebut dikenal juga dengan VLF Fenomena atau Whistler Ionosfer atau Equatorial Ionospheric Anomali (EIA) yang biasa terjadi pada saat akhir tengah malam (pagi hari) atau Post Midnigth,” kata Suaidi.

Meski demikian, Di sisi lain, Peneliti Petir dan Atmosfer BMKG Deni Septiadi sempat menyatakan mengaku masih meragukan aktivitas ionosfer sebagai sumber dentuman. Sebab menurutnya, sumber suara di ionosfer tidak dapat didengar oleh banyak manusia di permukaan bumi.

“Jika menghubungkan dengan dentuman dengan frekuensi rendah (VLF ~ 3-30 KHz) yang rambatan suaranya 10-100 km tentu terlalu jauh,” ujarnya.

Selama ini, dia menyebut peneliti menggunakan berbagai peralatan dan sensor untuk menangkap suaranya dalam melakukan kajian.

Dia justru menduga dentuman yang terdengar sebagian orang di Bandung, Jabodetabek, hingga Jawa Tengah berasal dari aktivitas manusia, bukan suara alami.

“Yang jelas saya sampaikan dari dua sumber suara, non alami dan alami. Yang terjadi di ketiga dentuman itu sangat mungkin sekali terjadi akibat sumber suara non alami dari aktivitas manusia,” kata Deni saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (22/5).

Menanggapi kemungkinan ini, Suaidi menyebut suara di lapisan yang berjarak 600 kilometer itu masih bisa terdengar ke Bumi jika energinya besar. Jarak 600 kilometer kira-kira serupa dengan jarak Jakarta-Madiun di Jawa Timur. 

“Kalau energinya besar kemungkinan bisa terdengar. Jarak Ionosfer 100-600 kilometer” tuturnya. 

Terpisah, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional mengaku belum dapat menjelaskan fenomena dentuman yang terjadi di Indonesia.

“Darimana arah sebenarnya, seberapa kuat suaranya, berapa frekuensinya, dan sebagainya,” ujar Peneliti Pusat Sains Antariksa LAPAN, Rhorom Priyatikanto kepada CNNIndonesia.com.

Rhorom mengatakan diperlukan data kuantitatif terkait fenomeba tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang tepat.

(jps/eks)

[Gambas:Video CNN]

Read More

Related Posts