Petugas sekolah menyemprot cairan disinfektan pada kelas yang telah diatur jarak antar siswa di SMK Kosgoro, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (4/6/2020). Sekolah tersebut mulai melakukan persiapan protokol kesehatan jelang tahun ajaran baru seperti pembatasan jumlah siswa, penerapan jarak duduk, penggunaan cairan pencuci tangan di setiap kelas dan penyemprotan cairan disinfektan secara rutin dalam masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) wilayah Kota Bogor menuju tatanan hidup baru (new normal) saat pandemi COVID-19
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Peneliti menyebut upaya herd immunity alami sama sekali tidak etis
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Penemuan vaksin yang masih berada di jalan panjang menjadikan banyak negara harus menekan penularan virus SARS-CoV-2 dengan pembatasan aktivitas sosial yang ketat. Hanya saja, menurut Peneliti Virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr Mohamad Saifudin Hakim, skenario herd immunity dengan infeksi alami untuk mengatasi penyebaran SARS-CoV-2 ini dirasa sangat tidak etis.
Herd immunity merupakan kondisi suatu kelompok atau populasi manusia kebal atau resisten terhadap penyebaran suatu penyakit infeksi. Disebut pula sebagai kekebalan kelompok.”Karena secara praktis, sama saja membiarkan kelompok masyarakat tertentu yang memang rentan terkena dampak infeksi yang berat. Misal, kelompok usia tua, kelompok masyarakat berpenyakit komorbid, dan individu dengan gangguan autoimun atau berbakat alergi,” kata Hakim.
Banyak negara, salah satunya Vietnam, membuktikan bisa mengontrol penularan virus SARS-CoV-2 dengan pembatasan aktivitas yang ketat. Mereka tidak perlu menunggu sampai terbentuk herd immunity.
Pengalaman dunia dengan wabah SARS-CoV sebelumnya pada 2002-2003 menunjukkan pandemi bisa ditekan dengan isolasi, karantina, lockdown, identifikasi hewan pembawa, tanpa harus menunggu herd immunity terbentuk.
Untuk itu, Hakim menekankan, konsep herd immunity tidak boleh diterapkan atau jadi tujuan menanggulangi wabah Covid-19 yang infeksinya masih menyebar liar. Masyarakat tidak boleh dibiarkan begitu saja seperti sebelum wabah.
Pemerintah harus tetap menerapkan aturan secara ketat seperti menganjurkan memakai masker saat kegiatan di luar rumah, jaga jarak, menjaga kebersihan dengan cuci tangan, hindari kerumuman massa, dan membatasi aktivitas sosial.
“Melakukan isolasi dan karantina bagi yang terpapar virus dan lainnya,” ujar Hakim yang sedang membuat persiapan dengan tim peneliti Pusat Kajian Kesehatan Anak untuk melakukan Uji Klinis Vaksin Rotavirus Fase III.
Ia melihat, wacana pelonggaran PSBB dan penerapan new normal di Indonesia masih dipahami sebagian masyarakat sebagai strategi herd immunity secara bebas dan tidak terkontrol. Ia menjelaskan, strategi tersebut salah kaprah.
New normal yang dimaksudkan bukan berarti pemerintah membiarkan masyarakat beraktivitas layaknya tidak ada wabah. Konsep yang benar masyarakat mulai kembali menjalankan aktivitas secara biasa, tapi tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Di era new normal, pemerintah memang tidak menerapkan herd immunity tanpa kontrol, tapi dengan pembatasan sosial yang sedikit dibuka disertai dengan kampanye perubahan perilaku. Kendati begitu, langkah ini tetap berimplikasi terbentuknya herd immunity, meskipun dalam jangka yang panjang,” kata Hakim.
Namun, langkah ini masih berisiko gagal karena belum bisa dipastikan herd immunity memang betul bisa tercapai atau tidak. Hingga kini belum ada data dan bukti yang valid kekebalan terhadap SARS-CoV-2 terbentuk setelah infeksi alami.
Beberapa studi melaporkan kekebalan atas virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 hanya baru muncul 10 persen dari seluruh individu yang terinfeksi. Sehingga, seharusnya protokol yang lebih ditekankan langkah-langkah mencegah persebaran.
Untuk itu, ia berharap, pemerintah tidak terburu-buru mengimplementasikan new normal pada Juli mendatang. Pemerintah diharapkan bisa mengkaji ulang rencana itu, melihat tren nasional jumlah kasus positif Covid-19.
Sebab, upaya-upaya mencegah penyebaran virus masih perlu dioptimalkan dan didukung peningkatan kapasitas melakukan tes dan contact tracing. Disertai upaya-upaya kontingensi karantina untuk mencegah munculnya klaster baru.
Ia mengingatkan, tren nasional tetap naik dan belum ada tanda penurunan signifikan secara konsisten. Seharusnya, new normal diterapkan setelah kurva melandai atau penurunan jumlah kasus secara signifikan yang konsisten.
“Jadi, kalau new normal dijalankan Juli, maka pemerintah harus siap kalau ada pertambahan kasus baru lagi,” ujar Hakim.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Persepektif Republika.co.id, Klik di Sini