Ilustrasi Matahari lockdown. (Foto: ANTARA FOTO/Rahmad)
Jakarta, CNN Indonesia — Fenomena Matahari lockdown atau penurunan aktivitas terhadap cuaca dan bencana hidrometeorologi (yang melibatkan siklus hidrologi, jumlah debit air, dan statistik curah hujan) tidak berdampak ke Indonesia.
Berkurangnya aktivitas Matahari dapat mempengaruhi jumlah pancaran radiasi Matahari yang diterima di permukaan Bumi dan diprediksi mempengaruhi badai kosmik antar planet.
“Kalau terhadap cuaca dan bencana hidrometeorologi mungkin tidak secara langsung, saya pikir tidak signifikan,” kata Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (20/5) malam.
Dijelaskan Siswanto, jika dikaitkan dengan pemanasan global dan efek gas rumah kaca, fenomena ini lebih dominan dibanding variasi siklus 11 tahunan Matahari. Fenomena Matahari lockdown juga akan meningkatkan curah hujan tahunan yang lebih tinggi dibanding biasanya di sejumlah negara.
“Memang pernah terjadi di Indonesia bersamaan dengan periode solar minimum, contohnya tahun 2010, di Indonesia saat itu sampai dikenal dengan kemarau basah,” pungkas Siswanto.
Dihubungi secara terpisah, peneliti astronomi BMKG, Rukman Nugraha mengatakan saat ini belum banyak kajian risiko yang terjadi terkait penurunan aktivitas Matahari di Indonesia.
Berbeda hal dengan wilayah Eropa. Bila kondisi geografi Indonesia, meliputi suhu dan kelembaban serupa dengan wilayah Eropa, besar kemungkinan masyarakat Indonesia harus siap.
“Saat ini belum banyak kajian mengenai hal ini di Indonesia. Bisa jadi karena pencatatan parameter-parameter cuaca di Indonesia tidak sepanjang di Eropa sehingga bisa menyulitkan dalam menarik kesimpulannya,” kata Rukman.
“Nah, sekarang kondisi Matahari memang sedang minimum, namun diperkirakan tidak akan mencapai Dalton minimum apalagi Maunder minimum,” tambahnya.
Lebih lanjut kata Rukman, saat ini aktivitas manusia menyebabkan perubahan iklim jauh melebihi yang diakibatkan oleh aktivitas Matahari itu. Sehingga akan menyulitkan dalam mendeteksi efek aktivitas Matahari pada kondisi iklim di Bumi.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengatakan fase Matahari lockdown atau penurunan aktivitas Matahari tak akan menyebabkan bencana alam di Bumi.
Sebab, menurut peneliti LAPAN Rhorom Priyatikanto mengatakan aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem dibandingkan pada periode 1790-1830 lalu.
Selain itu, Rhorom mengatakan dunia modern saat ini telah siap menghadapi solar minimum. Belum lagi mengingat masalah pemanasan global yang tetap menjaga suhu Bumi meski terjadi penurunan aktivitas.
“Aktivitas Matahari yang rendah saat ini belum terbilang ekstrem. Era modern lebih siap menghadapi aktivitas Matahari yang teramat minimum. Atau setidaknya, global warming memberi kita surplus temperatur sekitar 1 derajat,” kata Rhorom. (din/mik)