CNN Indonesia | Rabu, 27/05/2020 20:25 WIB
Ilustrasi Ionosfer. (Foto: dok. NASA)
Jakarta, CNN Indonesia — Peneliti Petir dan Atmosfer Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Deni Septiadi mengatakan aktivitas ionosfer yang diduga menjadi sumber dentuman beberapa waktu lalu tidak perlu dikhawatirkan. Jarak ionosfer dengan permukaan bumi diperkirakan puluhan hingga ratusan kilometer.
“Dengan ketinggian di atas sekitar 80 km, bahkan ratusan km dari permukaan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan hal ini,” ujar Deni kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/5).
Deni mengatakan ionosfer memiliki fungsi untuk memantulkan gel radio ke bumi. Selain itu, dia mengatakan ionosfer berfungsi untuk melindungi bumi dari meteor dan menghasilkan aurora di Kutub Utara dan Selatan.
Ia mengaku masih meragukan aktivitas ionosfer sebagai sumber dentuman. Dia berkata terlalu jauh apabila sumber suara di ionosfer dapat didengar oleh banyak manusia di permukaan bumi.
“Jika menghubungkan dengan dentuman dengan frekuensi rendah (VLF ~ 3-30 KHz) yang rambatan suaranya 10-100 km tentu terlalu jauh,” ujarnya.
Deni berkata suara ionosfer tidak bisa didengar dengan mudah. Selama ini, dia menyebut peneliti menggunakan berbagai peralatan dan sensor untuk menangkap suaranya dalam melakukan kajian.
“Sensor-sensornya merekam perubahan frekuensi dari medan magnet dan listrik. Kemudian frekuensi tersebut dikonversi ke dalam rentang pendengaran manusia (20 Hz – 20.000 Hz). Dengan demikian, kita dapat mendengar suara unik di angkasa,” ujar Deni.
Deni menyebut suara yang ditimbulkan gelombang plasma berbeda-beda tergantung lokasinya. Misalnya, dia menyampaikan ada yang disebut gelombang mode siulan (whistler-mode wave).
Petir yang menyambar dan menghasilkan listrik pada medan elektromagnetik, kata dia juga dapat memicu mode suara siulan ini.
“Beberapa gelombang yang lolos ke luar atmosfer dapat memantul sepanjang medan magnet Bumi antara Kutub Utara dan Selatan,” ujarnya.
Terkait hal itu, dia menjelaskan terjadi karena petir menghasilkan rentang frekuensi tertentu, dimana frekuensi yang lebih tinggi akan bergerak lebih cepat dibandingkan frekuensi rendah. Hal itu, kata dia juga yang membuat suara akan terdengar naik turun.
Deni kembali menyampaikan suara-suara alami yang terdengar di angkasa memiliki karakteristik unik. Namun, dia menyebut suara alami itu tidak menghasilkan ledakan pada kolom udara yang dahsyat sebagaimana suara petir, pesawat, atau ledakan sebagaimana suara meriam.
“Kemudian, apabila dikaitkan dengan badai magnetik matahari (Corona Mass Ejection) juga kurang tepat, bintik matahari (sunspot) sebagai indikasi kuatnya CME justru saat ini berada dalam fase terlemah yang pernah teramati dalam 100 tahun,” ujar Deni.
Lebih dari itu, Deni meyakini sumber suara dentuman misterius di sejumlah daerah beberapa waktu lalu berasal dari aktivitas manusia. Dia berkata suara dentuman bukan terjadi secara alami, misalnya karena aktivitas seismik, vulkanik, petir, longsoran, hingga ledakan meteor di angkasa. (jps/mik)