Papuanesia.id –
JAYAPURA-Situasi terkini di Papua rupanya menjadi pokok bahasan serius bagi Dewan Adat Papua (DAP). Ada sejumlah program dan agenda yang perlu dikaji seksama karena menyangkut banyak aspek. Jika dilepas begitu saja dikhawatirkan Papua tak lagi memiliki masa depan.
DAP lewat sejumlah petingginya yakni Ketua DAP, Mananwir Yan Pieter Yarangga, Sekretaris DAP Leonard Imbiri, Yakonias Wabrar selaku Ketua Represetasi Mamta Tabi, Markus Waran selaku Ketua Representasi Doberay, Agus Tumanan selaku Ketua Rekresentasi Bomberay, Lemok Mabel selaku Ketua Representasi La Pago dan Herman Sayori selaku Ketua Representasi Meepago menyampaikan hasil rapat pimpinan Dewan Adat Papua tanggal 10 Mei 2022 di P3W Padang Bulan Jayapura yang menyebut bahwa kondisi hukum, sosial politik, ekonomi dan budaya baik yang terjadi di Papua maupun Papua Barat terus bermasalah.
DAP akhirnya mencatat dan mengeluarkan pernyataan sikap menyerukan hal-hal yang mendesak, yakni poin pertama mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan upaya dan langsung yang bertujuan melakukan pemekaran wilayah daerah otonom Baru (DOB) di tanah Papua. Ini perlu diingatkan kembali karena ada semangat para politisi dan kelompok- kelompok tertentu termasuk pejabat yang sudah tak lagi menjabat namun getol untuk segera dilakukan pemekaran.
DAP meminta untuk pemerintah pusat melakukan dialog damai antara warga adat dengan pemerintah Papua maupun Papua Barat terkait aspirasi warga adat serta manfaat program pemekaran yang sedang didorong.
Pemerintah diminta tidak mengeluarkan kebijakan atau keputusan sepihak setelah mendengar pernyataan dukungan dari tokoh-tokoh yang memiliki kepentingan tertentu. Masyarakat adat yang memiliki perbedaan pendapatlah yang harus diajak duduk dan berbicara. Bukan sosok orang yang sudah dipersiapkan untuk kemudian menyetujui apa yang diusulkan pemerintah sendiri terkait pemekaran.
Poin kedua, mendesak pemerintah pusat untuk memastikan bahwa dalam setiap kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan di tanah Papua tidak semakin membuat warga adat Papua terdepopulasi, termarjinalisasi dan terpinggirkan dalam proses pembangunan.
DAP disini menyerukan untuk menghentikan arus migrasi masuk ke tanah Papua serta terjaminnya hak hidup, hak politik, hak katas tanah, hak berpartisipasi dalam pembangunan, hak ekonomi hak sosial warga adat Papua.
Disini Sekjen DAP, Leonard Imbiri mencontohkan untuk menghitung berapa anggota DPR di Boven Digoel maupun Merauke yang merupakan orang asli setempat.
“Tak perlu jauh – jauh di Jayapura saja anggota DPR dari Port Numbay? Itu bisa dihitung dengan jari. Lalu banyak orang dari luar datang, hanya dua minggu langsung punya KTP dan punya seragam. Bahkan kami mendengar orangnya belum datang tapi KTP dan seragamnya sudah disiapkan. Ini akan semakin memudahkan warga dari luar datang yang kemudian mengenyampingkan hak – hak warga adat,” cecar Leo Imbiri di Kesusteran Waena, Sabtu (14/5).
Ketiga, DAP juga mendesak kepolisian untuk tidak melakukan cara – cara represif dalam menghadapi penyampaian pendapat oleh warga.
Keempat, DAP mendesak agar pemerintah pusat bisa mengundang atau menghadirkan Komisi Tinggi HAM Tinggi PBB dan para pelapor khusus sesuai isu yang ditangani untuk segera mengunjungi tanah Papua guna melakukan inestigasi terhadap berbagai fakta dan dugaan pelanggaran HAM berat di tanah Papua selama integrasi ke dalam NKRI.
Kelima DAP mendukung pemerintah membentuk komisi hukum ad hoc di Papua Barat sesuai perdasus nomor 16 tahun 2013 dengan mendorong anggotanya dari DAP sebagai representase DAP.
Di tempat yang sama Ketua DAP, Mananwir Yan Pieter Yarangga juga berbicara tegas meminta pemerintah untuk tidak main – main. Presiden jangan anggap remeh masalah Papua. Begitu pula dengan Menkopolhukam maupun Mendagri diwanti untuk tidak gegabah memberikan masukan atau kebijakan untuk Papua.
Masalah Papua jangan dianggap remeh sebab semakin hari masalah Papua menjadi kompleks dan menjadi perhatian dunia. Ia meminta pemerintah pusat menanggapi apa yang menjadi aspirasi DAP secara arif dan bijaksana. Sebab apa yang disampaikan merupakan akumulasi dari pemberontakan rakyat Papua selama ini.
“Lalu dengan pernyataan ini kami sampaikan kepada rakyat Papua untuk sama-sama berupaya dan jangan terlalu jauh terjebak dalam propaganda pemerintah dan negara. Kita harus kawal Papua sebisa mungkin untuk menghindari propaganda yang hanya membuat kita terkukung. Pimpinan adat meminta generasi milenial untuk sama-sama mendorong ke ranah edukasi agar kita melihat bahwa Papua punya masa depan. Rapatkan barisan dan yakin bahwa Papua punya masa depan dan ini harus jadi perhatian negara,” tegasnya.
DAP juga meminta menghentikan seluruh bentuk manipulasi, rekayasa dan propaganda yang akhirnya membuat generasi saat ini mengalami degradasi pemahaman yang juga terkukung. Jakarta dari pandangan DAP juga tidak konsisten karena pembangunan manusia dan daerah belum sesuai harapan lalu ada paket lain yang disiapkan. Ada juga operasi intelejen yang sengaja dimainkan selama kurun waktu dua dekade namun ternyata tidak ada perubahan yang signifikan bagi warga pemilik negeri.
“Kami menyaksikan ini sebagai tujuan dari Jakarta dan Jakarta tidak memiliki niat menyelesaikan persoalan di Papua. Ada target yang ingin dicapai namun disaat belum terwujudkan, tiba – tiba ada paket lain untuk membungkam kekurangan sebelumnya,” sindir Yan.
Pendapat lain disampaikan Herman Sayori yang menyebut pada Juni 2022 nanti ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk mengeluarkan RUU DOB 3 provinsi yaitu Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah.
Dari proses ini ia melihat belum ada keputusan namun Papua sudah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra.
Ia mengutarakan bahwa kajian soal pemekaran haruslah dilakukan secara matang, mempersiapkan manusia secara baik termasuk menyelesaikan semua perkara HAM dimasa lalu juga belum dituntaskan. Selama itu tak dilakukan maka akan menjadi duri dalam kehidupan warga Papua. Karenanya dalam rapat pimpinan ia menyetujui DAP menyampaikan untuk menghentikan dulu proses DOB sebelum dilakukan dialog.
“Kemudian soal keuangan Otsus juga belum diaudit secara jelas. Disaat yang pertama belum jelas malah muncul Otsus berikutnya. Ingat Otsus situ untuk warga asli bukan digunakan untuk yang lain – lain,” bebernya.
Iapun setuju untuk arus migrasi ke Papua harus diperhatikan atau jika perlu DAP melakukan sensus penduduk yang mengidentifikasikan lewat kartu adat untuk mengenal dan mengetahui mana penduduk asli dan yang dari luar.
Soal HAM dan catatan kelam masa lalu juga diutarakan Lemok Mabel. Ia menyampaikan bahwa ada kelompok di legislatif dan eksekutif yang memainkan kebijakan negara tanpa melihat aspirasi yang berkembang.
Ia setuju dan mendorong agar Papua lebih terbuka terhadap pekerja kemanusiaan internasional. “Akses jurnalis atau pekerja HAM harus diibuka, jangan dibatasi,” ujarnya.
Yan Warinussi di divisi hukum menambahkan bahwa pemerintah perlu segera merealisasikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan persoalan yang selama ini menjadi akar masalah selama ini termasuk adanya penembakan disejumlah titik. KKR jadi agenda penting DAP untuk segera dihadirkan di tanah Papua karena itu juga perintah undang – undang.
Leo Imbiri menambahkan bahwa selama ini dirinya belum melihat ada dialog yang dilakukan sebagaimana yang dimaksudkan DAP. Dialog yang dimaksud adalah mempertemukan kedua pihak yang berbeda pendapat sebab selama ini yang terjadi adalah dialog yang diskenariokan oleh operasi intelejen.
“Ada orang-orang yang disetting, dipelihara kemudian dibawa ke Jakarta atas nama warga adat untuk menyampaikan pendapat yang selalu berkaitan dengan kemauan pemerintah. Saya tidak pernah mendengar satu dialog yang mempertemukan dua kelompok yang berbeda pandangan untuk duduk bersama. Saya menyampaikan tidak pernah ada dialog kecuali masa tim 100 dan setelah itu tak ada lagi,” beber Leo.
Jadi lebih jauh dikatakan jika berdialog dengan orang yang memiliki pendapat serta pandangan yang sama maka itu adalah rekayasa lama yang juga telah diketahui. “Lalu soal pemekaran saya mau sampaikan bahwa pemekaran dilaksanakan berdasar laporan intelejend dan bukan berdasar aturan UU yang dimiliki pemerintah. Jika pemerintah bisa menabrak aturannya sendiri untuk satu kebijakan yang ia dorong mengapa rakyat harus dihukum untuk menyampaikan aspirasinya,” sindir Leo. (ade/nat)
Continue Reading
Sumber: [1]