Studi besar-besaran mengungkap bahaya penggunaan obat malaria bagi pasien Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Obat-obatan malaria yang direkomendasikan Presiden AS Donald Trump sebagai terapi untuk pasien infeksi virus corona ternyata tak manjur. Malahan, kedua obat itu mendatangkan risiko kematian dan gangguan irama jantung yang lebih besar.
Fakta itu terkuak lewat penelitian yang melibatkan hampir 100 ribu pasien di berbagai penjuru dunia. Laporan dalam jurnal Lancet pada Jumat bukanlah tes yang ketat terhadap pemakaian hidroksiklorokuin atau klorokuin. Namun, sejauh ini, itulah gambaran terbesar penggunaan kedua obat malaria itu dalam setting dunia nyata, bukan di laboratorium.
Pengamatan tersebut dilakukan di 671 rumah sakit di tujuh benua. Pesan pentingnya menyangkut keamanan penggunaan hidroksiklorokuin atau klorokuin pada pasien Covid-19.
“Bukan saja tidak ada manfaatnya, tetapi kami mencermati ada pertanda bahaya yang sangat konsisten,” ujar pemimpin studi, Dr Mandeep Mehra, spesialis jantung di Brigham and Women’s Hospital di Boston, Inggris.
Para peneliti memperkirakan, tingkat kematian akibat penggunaan hidroksiklorokuin atau klorokuin dengan atau tanpa antibiotik, seperti azithromisin kira-kira sebesar 13 persen berbanding 9 persen untuk pasien yang tidak meminumnya. Risiko mengembangkan masalah irama jantung serius sekitar lima kali lebih besar.
Secara terpisah, pada Jumat (22/5), New England Journal of Medicine mempublikasikan hasil awal dari penelitian yang disponsori National Institutes of Health, memperlihatkan Remdesivir yang merupakan obat produksi Gilead Sciences menjadi yang pertama menunjukkan bukti khasiat terhadap virus corona dalam sebuah eksperimen besar. Seperti diumumkan sebelumnya, dalam penelitian terhadap 1.063 pasien dirawat di rumah sakit, obat itu mempersingkat waktu pemulihan rata-rata 31 persen atau 11 hari dibandingkan 15 hari bagi mereka yang hanya diberikan perawatan biasa.
Setelah dua pekan, sekitar 7,1 persen dari mereka yang diberikan obat Remdesivir meninggal dibandingkan 11,9 persen dari kelompok pembanding yang diberi plasebo. Namun, perbandingan itu terlalu kecil untuk melihat perbedaannya. Kemudian, para peneliti melacak pasien selama dua pekan untuk melihat apakah tingkat kematian berubah seiring waktu.
Sebuah pernyataan dari NIH mengatakan, hasil penelitian mendukung obat tersebut sebagai terapi standar bagi pasien yang dirawat di rumah sakit dengan kondisi parah dan membutuhkan tambahan oksigen. Obat ini belum disetujui, tetapi penggunaannya diizinkan secara darurat.
Studi tentang obat malaria kurang ketat dan kurang pengamatan, tetapi ukuan dan cakupan memberikan banyak dampak. “Ini benar-benar membuat kita yakin bahwa kita tidak mungkin melihat manfaat besar dari obat ini dalam pengobatan Covid-19 dan mungkin membahayakan,” ujar kepala penyakit menular di Vanderbilt University Medical Center, dr David Aronoff.
Trump berulang kali mendorong obat-obatan malaria. Bahkan, dia mengatakan menggunakan hidroksiklorokuin untuk mencoba mencegah infeksi atau meminimalkan gejala dari infeksi virus corona. Obat-obatan itu disetujui untuk mengobati lupus dan rheumatoid arthritis serta mencegah dan mengobati malaria.
Tidak ada tes besar yang menemukan obat itu aman atau efektif untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan virus corona tidak sama dengan pasien sakit lain yang membutuhkan obat itu. Artinya, tingkat keamanan tidak dapat diasumsikan dari penggunaan sebelumnya.
Obat-obatan itu juga berpotensi menimbulkan efek samping yang serius. Food and Drug Administration memperingatkan agar tidak menggunakan hidroksiklorokuin dengan antibiotik. Selain itu, mereka mengatakan obat malaria hanya boleh digunakan untuk virus corona dalam studi formal.
“Orang perlu melihat bukti dunia nyata untuk mengukur keamanan atau efektivitas,” kata Mehra.
Studinya mengamati hampir 15 ribu pasien Covid-19 mendapatkan salah satu obat malaria dengan atau tanpa salah satu antibiotik yang disarankan serta lebih dari 81 ribu pasien tidak mendapatkan obat-obatan tersebut. Secara keseluruhan, 1.868 pasien mengkonsumsi klorokuin saja dan 3.783 mendapat tambahan antibiotik.
Sementara itu, 3.016 pasien lainnya mengonsumsi hidroksiklorokuin dan 6.221 menambahkan antibiotik dalam terapinya. Hasilnya, sekitar 9 persen dari pasien yang tidak menggunakan obat meninggal di rumah sakit, dibandingkan 16 persen yang mengonsumsi klorokuin; 18 persen mengonsumsi hidroksiklorokuin; 22 persen mengonsumsi klorokuin plus antibiotik; dan 24 persen pada hidroksiklorokuin plus antibiotik.
Setelah memperhitungkan usia, kebiasaan merokok, berbagai kondisi kesehatan, dan faktor-faktor lain yang memengaruhi kelangsungan hidup, para peneliti memperkirakan penggunaan obat-obatan itu mungkin berkontribusi 34 persen hingga 45 persen dari risiko kematian. Sekitar delapan persen dari mereka yang menggunakan hidroksiklorokuin dan antibiotik mengalami masalah irama jantung dibandingkan 0,3 persen dari pasien yang tidak menggunakan obat dalam penelitian itu. Lebih banyak masalah terlihat dengan obat lain juga.
“Hasilnya menunjukkan obat-obatan itu tidak berguna dan mungkin berbahaya pada pasien Covid-19 di rumah sakit” ujar profesor dari Universitas Sorbonne di Paris, Christian Funck-Brentano.
Sementara itu, dokter Aronoff mengatakan eksperimen sedang dilakukan untuk menguji obat-obatan itu dengan cara yang ketat. Meskipun studi Lancet besar, pengamatan balik seperti ini tidak dapat mengontrol setiap faktor yang mungkin bertanggung jawab atas hasil yang diamati.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Persepektif Republika.co.id, Klik di Sini