Jakarta (PAPUANESIA.ID) –
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengungkapkan ada “jarak” antara Jakarta dan Papua sehingga harus dipotong secara komprehensif.
“Saya mengusulkan agar kita ‘memotong jarak’ antara kita dan Papua secara komprehensif, fisik dan nonfisik,” kata Fahri dalam webinar Moya Institute yang bertajuk “Teror Menyergap Papua” di Jakarta, Jumat.
“Jarak” itu, kata Fahri, bukan semata secara fisik walau memang jarak antara Jakarta dan Papua jauhnya sama dengan jarak dari Jakarta ke Arab Saudi.
Oleh karena itu, ketika Presiden Jokowi memutuskan untuk “memotong” jarak itu dengan membangun infrastruktur, mengingatkan dia tentang adanya jarak-jarak lainnya yang juga harus dipotong yaitu jarak secara kejiwaan.
Orang Papua itu, lanjut Fahri, harus diyakinkan hatinya bahwa antara orang asli Papua dengan orang Indonesia lainnya adalah sama dan bersaudara secara fundamental. Dengan demikian, hal-hal elementer lain yang terkait dengan itu harus dijelaskan secara masif melalui dunia pendidikan.
“Memang realitasnya, Papua bergabung dengan Indonesia dengan dasar Pepera 1969, yang sudah diakui PBB. Akan tetapi, kita juga harus menceritakan pada orang Papua bahwa daerah-daerah di Indonesia bergabung seluruhnya dengan Indonesia segera setelah Indonesia merdeka, tanpa kecuali,” katanya dalam siaran persnya.
Ia melanjutkan, “Kampung saya, Sumbawa, bergabung dengan NKRI pada tahun 1953. Raja Sumbawa kala itu menyerahkan seluruh aset daerah ke pemerintah pusat, dan menyatakan bergabung dengan NKRI. Kami pun dikelola dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pemerhati isu-isu strategis Prof. Imron Cotan menyebutkan sekitar 2 tahun terakhir pemerintah pusat sebenarnya sudah meluncurkan program Papua Muda Inspiratif untuk memberdayakan generasi milenial Papua.
Dalam program itu, Pemerintah telah membangun hub-hub yang memberi ruang bagi kaum muda Papua untuk saling berinteraksi dan berjejaring guna mengembangkan potensi daerah di bidang perkebunan, pertanian, dan perikanan, terutama yang sekarang sedang menuai hasilnya itu adalah tanaman jagung.
“Jadi, diam-diam, generasi milenial Papua itu bergerak,” ungkap Imron.
Oleh karena itu, patut disyukuri bahwa program ini didukung oleh perusahaan-perusahaan yang punya kepedulian besar pada Papua dengan menyisihkan dana corporate social responsibility (CSR) mereka guna menopang program tersebut.
Disebutkan pula bahwa ada beberapa produk dari kaum milenial Papua ini yang dipasarkan di luar negeri oleh perwakilan-perwakilan Republik Indonesia. Program ini memang tidak viral, tetapi sudah melibatkan ratusan kaum milenial di Papua maupun Papua Barat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan sangat miris ketika korban terus berjatuhan sebagai akibat dari konflik yang belum reda di Papua. Korban-korban itu juga termasuk dari kalangan TNI/Polri dan rakyat biasa.
Padahal, lanjut Hery, pembangunan yang masif telah dilakukan di Papua sejak masa pemerintahan Presiden Jokowi, baik periode pertama maupun kedua.
Otonomi khusus juga terus bergulir dengan dana yang tak sedikit. Akan tetapi, kata Hery, tetap saja kekerasan di Papua belum berhenti.
“Ini menjadi ‘PR’ kita bersama,” ujar Hery.
Sumber: [1]