Wamena (PAPUANESIA.ID) – Nilai bergotong royong telah menjadi budaya warga Indonesia pada umumnya, sebab telah dilestarikan sejak negara ini masih dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga mendapat kemerdekaan dan diakui sebagai suatu negara, budaya ini terus dijunjung tinggi hingga saat ini dari Sabang hingga ke Merauke.
Akan tetapi dalam era modern seperti ini, nilai gotong royong itu mulai luntur ketika sebagian besar penduduk daerah maju di Tanah Air lebih mengutamakan pola pandang individualis, namun warga pedalaman Papua khususnya di Kabupaten Jayawijaya tidaklah demikian dan masih mempertahankan nilai-nilai tersebut, sebab praktik gotong royong sudah menjadi budaya mereka masih melekat pada tatanan adat.
Wilayah pegunungan tengah Papua (Lapago) hingga kini masih menjunjung nilai-nilai Bangsa Indonesia, sebagaimana diajarkan dahulu dalam pendidikan, pancasila dan kewarganegaraan (PPKN) untuk selalu bergotong royong, saling membantu satu dengan yang lainnya seperti dalam membuka lahan perkebunan yang baru, bercocok tanam, hingga membuat rumah (honai), pagar dan ritual bakar batu yang selalu dilakukan bersama karena kehidupan seperti ini sudah terjadi sebelum wilayah ini menjadi daerah heterogen karena kehadiran perantau dari suku dan budaya berbeda.
“Waktu kecil saya lihat, ketika bapak saya yang menjabat camat menyampaikan jika hendak membangun sekolah di sini tetapi tempat itu harus diratakan, itu tidak ada ekskavator, tidak ada sekop yang cukup, tetapi warga hanya menajamkan kayu dan dengan kebersamaan, untuk menggali dan menggeser gumpalan tanah seperti menyerahkan tongkat estafet kepada peserta yang lain,” kata Jhon Nap warga asli Papua dari etnis Biak Numfor yang sudah menjalani setengah abad di Lembah Baliem Jayawijaya.
Untuk memudahkan koordinasi warga Papua dalam bergotong royong, segala kegiatan akan dipandu oleh tetua adat. Misalnya dalam hal membuka lahan kebun, akan dipimpin kepala suku pertanian, sebab kepala sukunya dibagi berdasarkan klasifikasi. Ada kepala suku perang, kepala suku peternakan, pertanian, dan pesta,
Tentu dalam tatanan budaya ini tidak bisa dicampur, sebab ketika dicampur maka itu akan susah dan hasilnya tidak memuaskan. Nilai-nilai itu diatur oleh kepala-kepala suku sehingga gotong royong buat pagar, buat kebun baru bisa dilakukan. Namun sangat disayangkan karena nilai gotong royong di Jayawijaya perlahan mulai terkikis dengan pengaruh era saat ini dan harus kembali dipupuk pada generasi muda sekarang sehingga kebersamaan itu tidak hilang.
Salah satu pengaruh modern yang mengganggu budaya gotong royong di Jayawijaya misalnya praktik perjudian yang kian hari ditindak aparat keamanan namun tidak pernah memberikan efek jera bagi pelaku, maupun yang bermain, sehingga bisa terus berkembang dalam warga.
“Ada memang hal-hal yang kemudian mengganggu nilai kebersamaan itu. Misalnya judi toto gelap (Togel) itu membuat orang kemudian mengharapkan berkat instan. Berkat itu tidak instan, harus melalui sebuah kerja keras dan itu harus ditunjukkan dengan kebersamaan atau gotong royong,” beber Jhon Nap yang kesehariannya sebagai Tokoh Agama.
Lanjut Jhon Nap, contoh lain dari gotong royong yang terlihat hingga kini pada warga Lembah Baliem, misalnya saat situasi COVID-19 mewabah dari daerah maju hingga ke hutan Papua khususnya di Jayawijaya. Masyarakat yang saat itu takut, kemudian menjauh dari kawasan penyebaran dan kembali ke kampung untuk mempersiapkan kebutuhan pangan dengan membuka kebun bersama-sama.
Ini menunjukkan jika gotong royong menjadi kecakapan warga adat Suku Dani, mereka juga pecinta cinta damai. Oleh karena itu Damai dan gotong royong menjadi warisan yang ditinggalkan leluhur kepada generasi sekarang. Hal ini menjadi nyata sebab dirinya yang merupakan warga Papua dari wilayah pesisir, bisa diterima hidup bersama-sama warga pedalaman di Jayawijaya.
“Ketika COVID terjadi, semua aktivitas berhenti, semua orang di kota pulang ke kampung membuat kebun besar – besar dan waktu saya lihat saya tersenyum sebab COVID-19 buat mereka kembali berkebun, jadi nilai gotong royong masih ada,” Kata Pria Asal Biak Numfor
Salah satu Pejabat Pemerintah Jayawijaya, Laurens Lagoan, mengaku jika tradisi gotong royong memang sedikit berkurang namun tidak hilang sebab masih bisa dijumpai di warga ketika bepergian di kabupaten ini.
Contoh lain ketika ada hajatan tertentu dapat dilihat karena itu kebiasaan dari orang di gunung sehingga itu selalu digala kan dan masih ada.
Agar gotong royong ini tidak hilang, dari pemerintah juga selalu berpesan kepada generasi muda untuk kembali ke budaya, orang tua supaya apa yang ditanamkan leluhur bisa dikembangkan oleh anak muda. Selain itu, keluarga, adat, gereja memiliki peran untuk terus mempersatukan semangat gotong royong baik antar sesama penduduk asli maupun para perantau.
“Hubungan antara orang Papua dengan pendatang selama ini berjalan bagus. Memang kadang ada kecemburuan tetapi itu kembali ke pribadi kita dan pembinaan dari keluarga. Kalau itu berjalan bagus maka kita bisa bersaing dengan cara yang baik pula,” jelas Laurenz Lagoan yang menjabat sebagai Kepala Distrtik Wesaput Kabupaten Jayawijaya.
Sementara dari sisi Lembaga warga Adat (LMA) Jayawijaya, Herman Doga melihat nilai -nilai pancasila dari warga Jayawijaya, melalui pancasila sila ke tiga, persatuan Indonesia, warga Nusantara yang hidup di wilayah ini harus menjadi satu dengan warga lokal meskipun seluruh suku mempunyai adat istiadat berbeda tetapi jadi satu bangsa, satu tanah air sehingga LMA sangat setuju membangun dari budaya damai.
Melihat sila ke tiga yang melibatkan adat, agama, pemerintah merupakan pilar yang harus jalan sama-sama dalam program pemerintah yang terus mendorong gotong royong dan memang itu perlu ditingkatkan dalam warga agar terus lestari.
“Kami tetap mendukung program pemerintah karena kami mitra pemerintah dan kami bersama pemerintah serta gereja tetap jalan bersama. Tidak bisa berjalan sendiri – sendiri sebab ini bagian dari gotong royong,” tutup tokoh adat itu.
Sumber: [1]