Papuanesia.id –
Oleh: Miryam M Uruwaya,S.Pd
Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat menarik perhatian serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam banyak hal terus diupayakan. Namun bila masih ada pola pikir yang keliru ketika pelaksanaan petunjuk kerja dari pemerintah pusat, sampai di daerah ada pelaksanaan yang kurang pas peruntukannya, maka tentunya ada warga yang dikorbankan, sangat disayangkan karena hal ini jelas mempengaruhi tujuan akhir program pendidikan di Indonesia dan rumit untuk diperbaiki, karena waktu yang telah berlalu dengan masa emas dari peserta didik.
Djundjunan, 2022 dalam kilas edukasi pendidikan menyampaikan terdapat pola pikir yang keliru “Siswa yang masih berusia balita (di bawah usia lima tahun) sering dijejali pelajaran calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Padahal, pelajaran calistung harus disampaikan kepada anak usia SD,”
Catatan penting yang diungkapkan oleh Popong, kepada Zonaliterasi.id.a Feberuari 2022 belum lama ini, harus menjadi perhatian penting karena kurangnya suatu penegasan dari pemerintah pusat terhadap pelaksanaan kegiatan pra-membaca, pra matematika, pra menulis pada jejang PAUD.
Dikatakan, selanjutnya dalam konsep merdeka belajar bahwa pengembangan literasi numerasi dini disesuaikan dengan kebutuhan dan minat anak, kemudian dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari dan bermakna namun saat ini dijumpai ada pelaksanaan yang melewati ketentuan akibat pola pikir yang keliru.
Salah satu hak anak yang perlu mendapat perhatian semua pihak adalah mendapatkan pendidikan, ibarat membangun sebuah menara yang diharapkan berfungsi dengan baik pada waktunya bagian pondasi haruslah yang kuat hingga menopang menara itu dengan baik.
Pondasi tersebut dapat disandingkan dengan kemampuan untuk membaca dan menulis yang selanjutnya dilengkapi dengan program literasi yang bervariasi sehingga memampukan anak dapat berkembang disegala sisi dengan baik mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Wajib belajar pendidikan dasar merupakan kebijakan dalam mencapai pendidikan untuk semua, termasuk anak dipapua. Sebagaimana tercantum dalam amanat UUD 1945 dan tujuan pembangunan millennium ( MDGs).
Dalam mewujudkan hal ini satuan pendidikan wajib memperhatikan dan melaksanakan amanat kurikum yang berlaku pada saat tersebut hingga mencapai ketuntasan.Kurikulum yang selalu berubah tanpa memperhatikan ketuntasan pada akar rumput menjadi dilema dan mencuri hak anak dalam literasi.
Sebuah pengalaman nyata mendasari teori di atas !
Dalam proses pembelajaran yang berlangsung tahun 80an siswa SD mendapat layanan mengenal huruf pada kelas 1-3 dengan sangat baik, masih tergambar buku biru dengan bacaan pemenggalan huruf, rangakain kata demi kata yang sangat jelas tentang sebuah keluarga Bapa Budi, menuntun siswa hingga tuntas dalam membaca dan menulis. Bila terdapat siswa yang belum mampu dibimbing hingga tuntas.Tahun berganti hingga masa milenial itu tiba tahun 2020an, buku biru sarat karakter itu hilang dalam waktu dan masa, siswa SD kelas 1-3 disodorkan buku LKS yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang panjang dalam rangkaian kata, tanpa ejaan huruf dan kata yang menunjang untuk suatu kompetensi dasar mengenal huruf dan membaca, hanya kompotensi menalar yang dituntun pada tingkat dasar.
Menjadi sebuah kenyataan pada anak kandungku insial FS pada 5 tahun lalu saat mulai memasuki kelas 1 sekolah dasar usia 6 tahun (saat ini persiapan ujian SD disalah satu sekolah dasar di Kota Biak).
Pada bulan pertama FS bersekolah pihak sekolah menawarkan pembelian buku LKS (besarnya seukuran majalah bobo), untuk digunakan sebagai panduan belajar. Sebagai orangtua yang memahami perkembangan anak awal sekolah malah saya yang lebih dulu stress, sudah membayangkan bagaimana keadaan FS saat belajar yang belum diajar huruf vocal, konsonan dan membunyikannya…
Puji Tuhan anak ku telah melewati 2 tahun masa bermainnya pada PAUD di lingkungan gereja tempat kami tinggal, sehingga ada bekal membunyikan huruf, akhirnya anaku harus belajar ekstra di rumah supaya bisa lancar membunyikan huruf vocal dan konsonan.. apalagi sampai dapat membaca LKS dan mengerjakan tugas didalamnya,
Suatu pertanyaan yang belum ditemui jawabannya ; Tugas melatih kemampuan membaca peserta didik sesungguhnya ada pada tinggat sekolah dasar atau kelompok bermain PAUD /Taman kanak ? sementara tidak semua anak dapat merasakan indahnya sekolah di PAUD/TK karena kondisi keluarga dan faktor ekonomi…maka tentu saja ada sejumlah anak yang terabaikan dalam hal ini. Ketika umurnya untuk memasuki sekolah dasar, tidak memperoleh bekal dari PAUD /TK juga bimbingan orang tua maka sesungguhnya hak anak dalam literasi sementara direnggut secara paksa.
Pada sebuah kesempatan Sy terlibat dalam sebuah perbincangan dengan rekan kerja disekolah (SMP YPK IAS); sebuah curhat seorang guru, rekan kerja, tapi juga seorang mama yang merasa sedih melihat anaknya yang sementara duduk di SD kelas 1 dengan banyak sekali tugas yang membebaninya hingga timbul kejenuhan dalam diri anak dan prihatin pada mamanya.
Materi kenal huruf tidak lagi diperkenalkan mana vocal dan konsonan juga membunyikannya melainkan serangakaian sub thema yang berawal dari pembelajarn Thematik disodorkan mulai dari kelas 1 SD terjadi justru pada salah satu sekolah dasar dilingkungan kota di biak…, sama halnya pada kesempatan lain, curahan hati salah satu rekan kerja dilingkungan sekolah kami, seorang Bapa, yang punya anak berada pada TK, teracam tidak bisa naik ketingkat berikutnya karena tidak bisa membaca…membuat hati sang bapa merasa sedih…karena memahami usia anaknya belum bisa diberikan tuntutan untuk memiliki ketrampilan membaca, seperti siswa kelas 1 SD….
Sy tersentak mendegar curahan hati itu (dua rekan kerja ku) ternyata kisah yang dialami anak ku 5 tahun yang lalu masih dijumpai pula disaat ini.
Bagaiman dengan anak lainnya….apakah dapat merasakan akses untuk merasakan indahnya sekolah dasar sambil bermain sesuai usianya, atau harus diperhadapkan pada sebuah kompetensi yang secara umur sangat membebani nya ??
Menurut Supardi & Yacobus;2018 (Mataputun;2021) “pembelajaran membaca dan menulis permulaan (MMP) sangat penting sebagai peletak dasar siswa dalam memasuki pendidikan formal dan dunia ilmu pengetahuan, karena hanya dengan kemampuan membacalah pelajaran lain dapat berjalan.
Selajutnya dikatakan jika anak usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan untuk mempelajari berbagai bidang study pada kelas dan tingkat kemapuan berikutnya.
Itulah sebabnya jika kondisi keterbelakangan CALISTUNG diatas dibiarkan atau tidak disikapi secara serius oleh berbagai pihak dalam bentuk kegiatan nyata, maka peserta didik yang dihasilkan akan berdaya saing lemah,mereka tidak dapat menyesuaikan diri apalagi bersaing dalam dunia kerja pada era revolusi industry 4.0
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ada enam daerah yang angka buta aksaranya masih tinggi. Di sini, persentase penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi dengan angka mencapai 21,9 persen. Disusul Nusa Tenggara Barat 7,46 persen, Nusa Tenggara Timur 4,24 persen, Sulawesi Selatan 4,22 persen, Sulawesi Barat 3,98 persen, dan Kalimantan Barat 3,81 persen. Data buta aksara ini berdasarkan usia 15-59 tahun. Jawa Pos, 2021
Suatu realita pun muncul pada data buta aksara diatas “persentase penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi dengan angka mencapai 21,9”
Zaman terus berubah dengan segala perkembanganya, apakah hak dasar anak dalam literasi akan ikut di abaikan, ?
Mari kita renungkan apakah semua anak telah terserap dalam tingkat PAUD / TK hingga proses mengenal huruf dan membaca diserahkan menjadi tanggung jawab PAUD/TK sehingga kemudian pada tingkat SD kelas 1-3 sudah harus menjajaki kompetensi menalar? Dengan tingkat ekonomi yang rendah, masalah keluarga,akses, tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di Paud/TK dan hal ini memberikan dampak dalam hak anak mengenal huruf dan menulis serta mengasah diri di program literasi yang berlangsung terus pada jejang berikutnya.
Hari ini pada jejang SMP masih terdapat peserta didik dengan masalah calistung secara bervariasi, jika tidak dituntaskan sesungguhnya kita sedang membangun menara dengan pondasi yang rapuh dan hak anak tidak terpenuhi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 “Pendidikan untuk semua”
Sebagai wujud nyata dalam pelaksanaan UUD tersebut dalam evaluasi pembelajaran pada semester ganjil tahun pembelajaran 2021/2022, serta pembelajran pada tahun pembelajaran 2020/2021 terdapat 30 % peserta didik yang wajib ditolong dalam hal Calsitung di SMP YPK Imanuel Agung Samofa, 30 % peserta didik yang mungkin juga hak literasinya terabaikan, dan harus terus maju dalam masa sekolah yang sedang digelutinya. Antara maju dan terhenti, dengan beban dipudaknya.
Sebagai langkah kecil mengembalikan hak anak dalam literasi yang terabaikan, kami mengawali pembelajaran pada semester genap tahun pelajaran 2021/2022 dilaksanakan workshop menyusun strategi sebagai solusi masalah yang dialami sebagai berikut :
1. Mengidenfikasi tingkat kemampuan siswa dalam hal membaca dan menulis
Melalui tugas membaca buku bacaan langsung oleh guru
2. Memprogramkan Literasi
Hasil kesepatan bersama yang diputusakan perwakilan warga sekolah dalam workop rencana sekolah di semester genap tahun 2021/2022
3. Menentukan tem kerja
Dituangkan dalam surat keputusan sebagai dasar pelaksanaan
4. Menentukan materi literasi
Bersama menentukan jenis literasi dalam waktu singkat agar menjadi solusi
5. Menyediakan jadwal pelaksanaan
Dalam belajar dimasa pandemic gunakan waktu belajar 6 jam tiap hari, diawali 30 menit pelaksanaan rogram literasi : Alkitab, Literasi Umum dan Literasi matapelajaran secara bergantian dalam jadwal.
6. Menyiapkan perpustakaan
Menentukan petugas khsus menjaga ruang perpustakaan, mengatur buku dalam literasi, dan membimbing anak saat belajar di perpustakaan
7. Mengontrol pelaksanaan
Program berjalan berkat kerjasama dan selalu ada kontroling agar dapat berkesinambungan
8. Melakukan Evaluasi terhadap hasil
Proses evaluasi dilakukan sebagai bagian penting dari pelaksanaan program literasi.
Puji Tuhan, atas hikmatNya pelaksanaan literasi yang sederhana itu, dapat menolong dari 30% siswa bermasalah dengan calistung dapat menurun hingga 5%. Namun dibutuhkan komitmen yang teguh selama dalam proses pendidikan kedepan. Kepada pemerintah pusat agar lebih membuat ketegasan yang jelas, bagaimana model Pra-membaca, Pra Menulis dan Pra –matetika harus dilakukan agar tidak ada terjadi POLA PIKIR YANG KELIRU dan tidak mengorbankan Hak Literasi anak dimana masa emas perkembangan otaknya demi pembangunan seutuhnya.
Semua komponen dituntut memperhatikan hal ini, mulai dari pemerintah, satuan pendidikan, orang tua, gereja, bahkan warga agar pondasi utk menara dapat ditanamkan dengan kokoh sehingga pada waktunya dapat berfungsi dengan baik, dengan tuntunan kasih Tuhan Yesus Kristus Guru Agung untuk kita semua…Syowi Ma Kasumasa ΏΌΨ
Miryam M Uruwaya,S.Pd
KS SMP YPK IMANUEL AGUNG SAMOFA BIAK
Mahasiswi MMP Tahun 2021 Universitas Cenderawasih.
Continue Reading
Sumber: [1]