Bisnis.com, JAKARTA – Pada tanggal 29 Mei 2020 pukul 14.24 WIB, terjadi flare atau kilatan terang di Matahari. Beberapa jam kemudian, pukul 17.46 WIB terjadi flare yang hampir sama kuatnya.
Menurut Lapan RI dalam laman resminya, kilatan Matahari merupakan salah satu kejadian energi tinggi di Matahari yang menjadi penanda aktivitas Matahari. Semakin tinggi aktivitas Matahari, semakin sering flare teramati.
Flare yang terjadi hari Jumat lalu terbilang istimewa dan cukup mengagetkan karena dua alasan. Pertama, flare dengan kelas M1.1 tersebut merupakan flare kuat yang terjadi pertama kali pada siklus Matahari ke-25 ini. Flare kuat terakhir terjadi bulan Oktober 2017 ketika Matahari mengalami musim badai terkuat pada siklus ke-24 yang lalu.
Flare M1.1 terjadi selama sekitar 15 menit dan diperkirakan melepaskan energi yang setara dengan 2 milyar ton TNT (atau 8,5 x 1021 Joule). Dalam 8 menit, energi elektromagnetik sebesar itu mencapai Bumi dan dapat memicu penebalan atmosfer bagian luar hingga peningkatan ion di lapisan ionosfer. Kelebihan ion, terutama di lapisan ionosfer bawah (lapisan D) dapat berdampak pada kesulitan komunikasi radio frekuensi tinggi.
Sementara penebalan atmosfer dapat berakibat pada pengereman satelit sehingga orbitnya akan mengerut. Beberapa satelit atau wahana seperti Stasiun Antariksa Internasional perlu melakukan manuver untuk mengompensasi pengereman tersebut.
Alasan kedua adalah bahwa flare tersebut dihasilkan oleh satu daerah yang baru saja muncul di tepi timur piringan Matahari. Teleskop Matahari di Bumi atau wahana antariksa Solar Dynamics Observatory (SDO) milik NASA yang memantau Matahari secara kontinyu tidak dapat memotret daerah penghasil flare tersebut sebelumnya.
Padahal, potret dan karakteristik daerah aktif menjadi dasar untuk memprediksi apakah daerah tersebut akan menghasilkan flare atau tidak. Prediksi flare dari daerah yang baru saja ‘terbit’ di sisi timur Matahari masih menjadi tantangan dan menjadi objek penelitian yang dilakukan oleh LAPAN tahun ini, juga oleh sejumlah tim peneliti di luar negeri.
Ibarat kilat yang sering terlihat saat badai, flare Matahari dapat diikuti oleh semburan materi atau lontaran massa korona (coronal mass ejection, CME) yang bisa memicu badai geomagnet di Bumi. Flare hanyalah kilatan cahaya energi tinggi sementara CME adalah semburan partikel bermuatan yang perlu waktu lebih panjang untuk mencapai Bumi.
Bila CME mengarah ke Bumi, perlu waktu sekitar 3 hari sebelum timbulnya badai geomagnet. Beberapa CME terdeteksi memancar dari daerah yang sama dengan penghasil flare M1.1, tapi CME tersebut tidak mengarah ke Bumi.
Flare pertama kali diamati menggunakan teleskop pada tahun 1859 oleh astronomi Inggris, Richard Carrington dan Richard Hodgson. Flare teramati pada berbagai segmen gelombang elektromagnetik, baik pada jendela optik maupun pada jendela lain.
Dewasa ini, flare Matahari diamati dan dikarakterisasi berdasarkan pengamatan pada jendela sinar-X menggunakan satelit. Intensitas flare ditentukan berdasarkan fluks puncaknya dan dikategorikan menjadi kelas A, B, C, M, dan X. Flare kelas X adalah yang paling kuat dan dapat berdampak signifikan pada cuaca antariksa di Bumi.
Di belakang setiap huruf, disertakan angka yang menunjukkan subkelas, misalnya dari C1.0 hingga C9.9 diikuti M1.0 sebagai subkelas berikutnya.
Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :
matahari, fenomena
Bisnis Indonesia bersama 3 media menggalang dana untuk membantu tenaga medis dan warga terdampak virus corona yang disalurkan melalui Yayasan Lumbung Pangan Indonesia (Rekening BNI: 200-5202-055).
Ayo, ikut membantu donasi sekarang! Klik Di Sini untuk info lebih lengkapnya.