Papuanesia.id –
JAYAPURA-Satu kasus persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura menarik untuk disorot. Ini terkait kasus penipuan yang melibatkan seorang terdakwa bernama GYH dengan korban seorang pengusaha bernama Toni Hartanto. Tak tanggung – tanggung kasus penipuan ini menyangkut nominal rupiah yang tak sedikit, yakni Rp 2,6 miliar.
Menariknya setelah beberapa kali sidang dan dilakukan proses penuntutan ternyata terdakwa hanya dituntut pidana 5 bulan. Uang tersebut menurut penggugat diberikan ke terdakwa untuk pembayaran lokasi tanah. Ini membuat korban kaget karena menurut penggugat Toni, ada nominal yang jauh lebih kecil, namun dituntut 4 tahun pidana.
“Kami heran dengan keadilan, mengapa JPU menuntut seperti itu padahal kami sempat berkoordinasi kejaksaan tinggi dan mendapatkan info bahwa harusnya di atas 5 bulan,” ujar Toni didampingi kuasa hukumnya, Sharon Fakdawer SH, saat memberikan keterangan pers di Abepura, Jumat (11/3).
Toni mengaku kecewa dengan tuntutan ini apalagi ia mengetahui jika terdakwa pernah memiliki kasus di tahun 2015 lalu dan seharusnya dituntut lebih berat karena melakukan perbuatan berulang.
Ia mengatakan bahwa dengan proses hukum ini belum tentu uang Rp 2,6 miliar miliknya akan kembali, apalagi objek sengketa yakni lokasi tanah yang akan dibeli juga fiktif. Terdakwa juga beberapa kali mengirimkan surat berjanji akan mengembalikan uang tersebut, namun hingga tuntutan kemarin ternyata tidak ada yang dikembalikan. Toni berharap majelis hakim bisa mengambil keputusan sesuai dengan rasa keadilan.
“Kami khawatir ada permainan di balik tuntutan ini, masak kerugian kami Rp 2,6 miliar tapi hanya dituntut 5 bulan. Ini tidak masuk akal bagi kami dan kami berharap tidak ada kompromi hukum di balik ini,” singgungnya.
Kekecewaan terhadap Jaksa Penuntut Umum juga dikaitkan dengan beberapa alat bukti yang tidak dilampirkan saat persidangan. Padahal dengan alat bukti surat, kwitansi dan surat pelepasan tersebut bisa menjadi pertimbangan hakim. Namun ini tidak dilampirkan dalam laporan JPU. Tonipun menyatakan telah melaporkan ini ke komisi kejaksaan untuk mengoreksi oknum jaksa yang dianggap nakal.
Toni lantas menceritakan bahwa pada awal tahun 2020 ia ditawari terdakwa tanah seluas 1000 meter persegi yang lokasinya tak jauh dari Jembatan Youtefa. Iapun menyetujui harga tanah tersebut dan melakukan beberapa transaksi pembayaran secara tunai. Namun seiring waktu, terdakwa GYH tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan dan lokasi yang dimaksud hingga akhirnya Juli 2020 Toni memutuskan untuk melapor ke Polda Papua. “Uangnya sudah semua, lalu kami tanya mana tanahnya dan ternyata fiktif,” bebernya.
“Pembacaan tuntutan ini sendiri sudah dilakukan pada 22 Februari 2022 dan rencananya kasus ini akan diputus pada 22 Maret 2022,” jelas Toni.
Ia berpendapat jika penipuan dengan angka Rp 2,6 miliar hanya dituntut 5 bulan, dirinya khawatir ini akan menjadi preseden buruk bagi wajah hukum di Jayapura. “Orang akhirnya berpikir ngapain kerja, mending menipu dan bisa dapat Rp 2,6 miliar dan hanya ditahan 5 bulan. Logikanya kan seperti itu sebab belum tentu kerja 5 bulan bisa dapat Rp 2,6 miliar,” cecarnya.
Penasehat Hukum terdakwa, Sharon Fakdawer SH menambahkan bahwa proses hukum di pengadilan sepatutnya berkeadilan, mengayomi dan mempresentasekan si korban. “Harusnya diperberat dan mengedepankan rasa keadilan si korban. Sehingga proses ini bukan hanya formalitas, tetapi memberi pelajaran kepada warga. Jangan mengatasnamakan adat atau suku akhirnya mengakali dan merugikan orang yang ingin membeli atau berinvestasi,” singgung Sharon.
Sayangnya ketika kasus ini dikonfirmasi beberapa kali melalui nomor telepon ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) bernisial YA, ternyata nomor tersebut tidak bisa terhubung dan langsung terputus. (ade/tri)
Continue Reading
Sumber: [1]