loading…
GORONTALO – Sejumlah sapi milik warga di Desa Dainaa, Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo, yang diduga terserang Anthrax mati mendadak. Kasus tersebut ditindaklanjuti Kementerian Pertanian dengan berkoordinasi bersama Pemerintah Provinsi Gorontalo, melakukan investigasi, mengambil sampel untuk diteliti di laboratorium, serta memastikan ketersediaan stok obat dan vaksin.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita di Jakarta, Senin (8/6/2020).
“Petugas kesehatan hewan sudah turun ke lapang melakukan investigasi kasus dan pengambilan sampel untuk konfirmasi laboratorium di BBVet Maros,” katanya.
Ia juga memastikan bahwa pengobatan untuk hewan yang sakit sudah dilakukan, disertai dengan sosialisasi tentang penyakit Anthrax bagi masyarakat sekitar kasus. “Dua minggu setelah pengobatan selesai, akan dilakukan vaksinasi di wilayah tersebut,” tambahnya.
Ia juga memastikan bahwa stok obat berupa antibiotik dan vitamin, serta vaksin di Gorontalo masih mencukupi untuk memastikan penanganan kasus di wilayah tertular dan sekitarnya. “Tahun ini kita siapkan stok vaksin sebanyak 15.000 dosis dan operasionalnya untuk Gorontalo,” tutur Ketut.
Sebelumnya diinformasikan bahwa ada kasus suspek Anthrax di Desa Daenaa, Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo. Dugaan kasus Anthrax ini diketahui setelah ada laporan kasus Anthrax jenis kulit pada delapan orang penduduk yang diduga memotong paksa sapi sakit dan kemudian mengkonsumsi dagingnya. Anthrax merupakan salah satu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis).
“Kami sudah koordinasikan juga dengan Kemenkes, untuk memastikan penanganan terintegrasi kasus ini dengan pendekatan one health,” ungkap Ketut.
Di tempat terpisah, saat diminta keterangan terkait kasus, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi membenarkan adanya laporan dugaan kasus Anthrax kulit tersebut. Menurutnya pihaknya telah berkoordinasi dengan Pemda untuk melakukan penyelidikan epidemiologi dan penanganan kasus secara terpadu antara unsur kesehatan dan kesehatan hewan.
Ia menekankan pentingnya kesadaran masyarakat tentang bahaya Anthrax ini, serta menghimbau agar masyarakat tidak memotong hewan yang sakit dan kemudian mengkonsumsi dagingnya. Nadia menyebutkan bahwa penduduk yang menunjukan gejala Anthrax kulit telah ditangani oleh Puskesmas.
Hal senada disampaikan oleh Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa. Menurutnya risiko terbesar penularan Anthrax di Indonesia adalah melalui pergerakan dan pemindahan hewan tertular serta ketika ada hewan sakit yang dipotong dan kemudian dagingnya dijual atau dibagikan untuk konsumsi.
“Kita selalu sampaikan kepada masyarakat agar segera melaporkan setiap kasus hewan sakit kepada petugas untuk ditangani, dan meminta mereka agar tidak memotong hewan sakit dan tidak mengkonsumsi dagingnya bahkan tdk melukai hewan yang mati akibat anthrax tegas Fadjar.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari Fenny Rimporok, salah satu petugas dari Dinas Peternakan Provinsi Gorontalo, diketahui bahwa lokasi kasus, yakni di Desa Daenaa belum pernah dilaporkan ada kasus Anthrax sehingga tidak ada pelaksanaan vaksinasi di wilayah tersebut sebelumnya.
Ia menduga bahwa kasus Anthrax yang terjadi karena adanya pemasukan ternak baru dari luar wilayah. Hal ini diperkuat dengan informasi bahwa pada tanggal 9 Mei 2020, salah satu peternak ada yang membeli sapi indukan dan anakan sebanyak dua ekor di Pasar Bongomeme Kabupaten Gorontalo, yang merupakan daerah endemis Anthrax.
“Kita akan terus tingkatkan pengawasan lalu lintas ternak, untuk memastikan kejadian serupa dapat kita minimalisir,” pungkasnya.
(ars)