Papuanesia.id –
Markus Haluk , Timotius Murib. (Ft: Noel/Cepos)
JAYAPURA – Markus Haluk Direktur Eksekutif ULMWP mengungkapkan, Nota Kesepahaman atau Momerandum of Understanding (MoU) untuk Jeda Kemanusiaan Bersama (JKB) tertanggal 11 November 2022 yang ditandatangani oleh Komnas HAM RI bersama dengan perwakilan Papua dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) akan berakhir tanpa kesan apa-apa.
Ia mengatakan bagi dirinya Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama atau MoU JKB tersebut menetapkan serangkaian langkah dengan niat tulus dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk membuka jalan dalam proses damai melalui pemberian jaminan keselamatan dan kekebalan hukum serta kegiatan-kegiatan membangun kepercayaan diantara para pihak.
” Confidence building measures ini diantaranya pemberhentian permusuhan secara bersyarat, penanganan masalah-masalah hak asasi manusia, bantuan terhadap situasi kemanusiaan pengungsi dan tahanan politik Papua, pelibatan aktor dalam proses penjajakan, dan upaya sosialisasi demi mendorong proses damai,” katanya Kepada Cenderawasih Pos, Selasa, (7/2) di Jayapura.
Namun pihaknya mengaku sangat kecewa karena meskipun upaya dan kepatuhan pihaknya terhadap MoU JKB sangat konsisten, sayangnya Komnas HAM dan lembaga-lembaga terkait di dalam Pemerintah Indonesia belum menunjukkan komitmen apapun terhadap kesepakatan ini.
“Pembentukan Tim Jeda Kemanusiaan belum dilaksanakan, meski ULMWP, Dewan Gereja Papua dan Majelis Rakyat Papua mengirimkan usulan daftar nama untuk dimasukkan sebagai anggota tim ini. Komnas HAM tidak memberikan jaminan keamanan dan kekebalan hukum bagi orang-orang dalam daftar ini, bahkan tidak memperpanjang jaminan perlindungannya yang sebelumnya diberikan kepada delegasi Papua yang terlibat dalam proses penjajakan menuju perundingan damai yang aktif sepanjang 2022,” katanya.
Ia menjelaskan, Sampai saat ini tidak ada narapidana ataupun tahanan satupun yang diikutsertakan atau dilibatkan dalam Tim Jeda Kemanusiaan sebagaimana tertuang dalam MoU JKB.
“Penghentian permusuhan bersama dan penangguhan operasi militer di Kabupaten Maybrat belum terjadi karena prasyarat di dalam MoU JKB tidak dipenuhi oleh Komnas HAM dan lembaga-lembaga Pemerintah Indonesia terkait. Belum terjadi pertemuan dan kegiatan survei oleh Tim Jeda Kemanusiaan atas situasi pengungsian di Kabupaten Maybrat, termasuk kondisi kerentanan dan kebutuhan kemanusiaan yang dialami oleh para pengungsi,” katanya.
Haluk mengatakan Kendatipun demikian ULMWP siap untuk kerjasama dalam kegiatan ini, kesemuanya belum ditindaklanjuti oleh Komnas HAM dan instansi-instansi terkait dari Pemerintah Indonesia. Perihal persoalan tersebut adalah semua faktanya. Jika terdapat komplain, pihaknya siap membuktikannya sesuai dengan isi MoU JKB.
“Kami telah membaca beberapa pernyataan di media dari pejabat publik dan petugas keamanan berpangkat tinggi yang berusaha menyalahkan ULMWP, TPN-PB-OPM, dan aktor-aktor Papua lainnya. Kami berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan upaya distorsi dan rekayasa untuk menyudutkan pihak Papua,” katanya.
Disqmpaikan Haluk bahwa alasan sebenarnya MoU JKB ini belum dilaksanakan adalah kurangnya keseriusan dan ketulusan dari Pemerintah Indonesia, yang terlihat jelas dengan tidak adanya implementasi atau tindak lanjut sedikitpun dari komitmen-komitmen mereka di bawah MoU yang ditandatangani pada 11 November 2022 di Jenewa, Switzerland.
“Kami mendesak Komnas HAM dan instansi terkait dari Pemerintah Indonesia agar jangan berpaling dengan perjuangan perdamaian dan berpegang teguh kepada komitmen-komitmennya dalam membuka jalan menuju perundingan damai dan keadilan di Tanah Papua,” ujarnya.
Selain itu, Haluk menambahkan pihaknya mengapresiasi Dewan Gereja Sedunia dan Nadlathul Ulama Indonesia yang telah bersedia untuk mamfasilitasi pelaksanaan JKB, meskipun pihak Indonesia belum menunjukan keseriusan dalam mengimplementasi MoU JKB. Demikian Media Release ini kami keluarkan diketahui oleh publik. Terima Kasih,
Sementara itu, di tempat terpisah Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib mengingatkan Komnas HAM tentang komitmen mereka dalam menjajaki penyelesaian konflik bersenjata di Papua.
Apalagi, dalam pandangan MRP, situasi Papua belakangan ini masih panas dengan adanya kekerasan, pembakaran, pembunuhan, hingga penyanderaan pilot di wilayah pegunungan Papua.
“Komnas HAM telah bersepakat untuk menjajaki proses menuju dialog kemanusiaan. Salah satunya melalui Jeda Kemanusiaan yang diarahkan untuk menangani pengungsi dan tahanan politik. Tapi belum bisa terlaksana. Kami berharap Komnas HAM melanjutkan kesepakatan baik itu,” kata Timotius.
Timotius mengingatkan Komnas HAM perihal Jeda Kemanusiaan yang akan berakhir pada Jum’at, 3 Februari 2023. Ia menjelaskan, kesepakatan itu sifatnya bersyarat, yaitu harus didahului dengan pembentukan Tim Jeda Kemanusiaan Bersama.
Keanggotaan Tim tersebut meliputi unsur Komnas HAM, perwakilan lembaga di Papua, serta unsur pemerintah pusat dan provinsi. Nama-nama perwakilan Papua telah diserahkan ke Komnas HAM. Namun, Tim yang dimaksud belum kunjung terbentuk.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait menambahkan pentingnya keterlibatan Komnas HAM.
“Peran Komnas HAM sangat dibutuhkan untuk mendorong perlindungan hak-hak orang asli Papua dan resolusi konflik di Papua. Apabila tidak berlanjut, bukan saja kesepakatan itu berakhir, tapi kepercayaan rakyat Papua pun akan menurun,” kata Yoel.
“Penanganan situasi pengungsi tidak boleh terus ditunda. Begitu pula dengan situasi para tahanan politik yang jumlahnya kini bertambah. Sementara penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM belum memperlihatkan kemajuan berarti. Kami mendorong Komnas HAM,” tambahnya.
Seperti diketahui, pada tahun lalu, Komnas HAM menandatangani “Nota Kesepahaman” bersama MRP, Dewan Gereja Papua (DGP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Menurut dokumen tertanggal 10-11 November 2022, mereka menandatangani Nota Kesepahaman Tentang Jeda Kemanusiaan Bersama.
Jeda Kemanusiaan Bersama ialah kesepakatan para pihak untuk berupaya mendorong penghentian permusuhan pihak konflik bersenjata demi mencapai tiga tujuan.
Pertama, pemberian bantuan kemanusiaan ke warga sipil yang terjebak konflik bersenjata dan yang mengungsi akibat konflik bersenjata. Kedua, memastikan pemenuhan hak-hak dasar para tahanan dan narapidana terkait tuntutan politik kemerdekaan atau referendum. Ketiga, penghentian sementara pertempuran dan kekerasan oleh para pihak, (oel).
Continue Reading
Sumber: [1]