Home News Matahari Lockdown dan Letusan Gunung Tambora Pernah Picu Kelaparan Hebat

Matahari Lockdown dan Letusan Gunung Tambora Pernah Picu Kelaparan Hebat

by Papua Damai
Matahari Lockdown dan Letusan Gunung Tambora Pernah Picu Kelaparan Hebat

Suara.com – Fenomena alam matahari lockdwon, yang tidak lain dari solar minimum, dan letusan Gunung Tambora pada awal abad 19 telah menyebabkan perubahan iklim signifikan di Bumi dan memicu kelaparan di belahan Bumi utara.

Meski demikian, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Rhorom Priyatikanto mengatakan fenomena matahari lockdown saat ini tidak berdampak signifikan dan tidak menyebabkan bencana.

Pernyataan Rhorom itu senada dengan analisis para peneliti iklim dari badan antariksa Amerika Serikat (NASA) yang menegaskan bahwa solar minimum saat ini tidak memiliki efek signifikan terhadap suhu atau cuaca di Bumi.

“Dampaknya terhadap bumi itu bisa dikatakan minim sekali tidak sampai menghasilkan pemanasan global atau sampai pendinginan global,” kata peneliti astronomi dan astrofisika pada Pusat Sains Antariksa Lapan Rhorom Priyatikanto kepada Antara di Jakarta, Selasa (19/5/2020).

Ia menjelaskan bahwa fenomena matahari lockdown adalah fase minimum matahari di mana ini terjadi periodik sekitar 11 tahunan. Fase minimum matahari ini tidak berkaitan dengan aktivitas vulkanik atau menyebabkan gunung meletus.

Yang terjadi pada fase minimum matahari adalah hilangnya bintik matahari. Dengan kata lain, saat ini, matahari berada dalam kondisi tenang.

Kenampakan bintik matahari merupakan salah satu indikator yang paling utama terkait aktivitas matahari. Jika semakin banyak bintik matahari maka aktivitas matahari semakin tinggi di mana potensi terjadi badai matahari, dan ledakan-ledakan kecil di permukaan matahari itu besar.

“Sementara pada saat ini matahari itu berada dalam fase minimum artinya matahari dalam kondisi tenang hampir tidak ada bintik matahari yang teramati dalam beberapa hari,”ujar Rhorom.

Akan tetapi adakalanya matahari mengalami kondisi yang ekstrem atau luar biasa tenang. Itu pernah terjadi pada peristiwa Maunder Minimum di awal abad ke-17 dan Dalton Minimum di awal abad ke-19. Pada saat itu, selama beberapa siklus sekitar 30 tahun matahari cenderung lebih tenang dibandingkan rata-rata. Akibatnya, suhu global mengalami penurunan 1-2 derajat Celcius.

Pada peristiwa Dalton Minimum pada 1815, kondisi iklim diperparah dengan letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia. Abu dari letusan gunung itu sampai mencapai atmosfer sehingga memblokade radiasi matahari ke permukaan bumi.

Itu berefek pada pendinginan global yang lebih parah. Bahkan tercatat dalam sejarah tahun 1816 bahwa tidak ada musim panas di beberapa daerah di Eropa.

Peristiwa fase matahari dengan kondisi luar biasa tenang itu juga menyebabkan terjadinya gagal panen, krisis pangan dan berimbas pada resesi ekonomi saat itu.

Sedangkan pada saat ini, Rhorom menuturkan meskipun matahari berada dalam fase minimum tapi matahari bukan pada kondisi yang ekstrem tenang sekali sehingga tidak bisa memicu penurunan suhu global sehingga tidak perlu kekhawatiran akan ada bencana seperti gagal panen dan tidak ada musim panas.

“Fase minimum matahari itu kira-kira kalau dalam catatan setahun atau dua tahun itu adalah fase minimumnya,” tuturnya.

Pada 2018, fase minimum matahari terjadi selama sekitar 250-an hari dengan kondisi tanpa bintik matahari. Pada 2019, fase minimum terjadi hampir 280 hari tanpa bintik matahari.

Pada saat sekarang, bintik matahari sudah mulai muncul sehingga bisa dikatakan tidak berada di titik bawah di fase minimum karena sudah mulai beranjak naik.

“Tahun 2020 itu memang beberapa hari tidak ada bintik matahari tapi mulai muncul bintik matahari selang-seling jadi secara statistik dalam catatan kita sedang terus bertambah,” tuturnya.

Meskipun, saat ini tidak berada di titik terbawah fase minimum matahari, akan tetapi peneliti masih menyatakan masa sekarang sebagai masa fase minimum matahari, tambahnya.

Read More

Related Posts