Papuanesia.id –
SENTANI- Kegiatan sarasehan di 10 kampung di Kabupaten Jayapura secara resmi telah selesai pada Rabu 26 oktober 2022. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari berturut-turut sejak 25 sampai 26 Oktober 2022.
Di akhir dari kegiatan itu sejumlah warga adat yang mengikuti kegiatan sarasehan di kampung Yakonde, berinisiatif untuk membangun Tugu peringatan atau monumen yang diberi nama Monumen sarasehan kongres warga adat Nusantara VI.
Ketua Panitia Kongres warga adat Nusantara Nasional, Mathius Awoitauw mengungkapkan, Monumen yang diresmikan itu mengatasnamakan seluruh peserta Kongres yang datang menghadiri kegiatan sarasehan di 10 kampung yang ada di Kabupaten Jayapura selama 2 hari.
“Monumen yang kami resmikan atas nama seluruh peserta Kongres, dari seluruh nusantara yang hadir dan dua hari ini mereka berada di kampung-kampung dan membaur dengan warga adat di Jayapura dan sudah membangun semangat persaudaraan membangun toleransi dalam negara kesatuan Republik Indonesia,” ungkap Mathius Awoitauw, Rabu (26/10).
Dia mengatakan, Monumen itu akan menjadi sejarah penting bagi perjalanan aliansi warga adat Nusantara (AMAN). Di mana melalui kongres warga adat nusantara ke-6 di Papua telah memberikan semangat baru terutama semangat kekeluargaan yang begitu tinggi terjalin antara warga dari berbagai komunitas.
“Mungkin di warga atau komunitas lain sedang berbicara tentang perbedaan, tetapi warga adat dari seluruh nusantara, mereka menyatu bahwa mereka adalah saudara ada persatuan dan kesatuan, ini akan abadi. Monumen ini akan menjadi sejarah bahwa kita semua adalah saudara dalam negara Republik Indonesia ini, kitorang ada,” ujarnya.
Dia mengaku, pemilihan Kampung Yakonde sebagai tempat penutupan sarasehan KMAN VI yang ditandai dengan penandatanganan prasasti dan mendirikan Tugu Sarasehan ini Sebenarnya bukan inisiatif dari panitia tetapi itu merupakan inisiatif dari para peserta dan tamu secara sehat yang ada di kampung Yakonde.
“Karena kampung ini merasa bahwa kongres ini begitu berarti apalagi tidak pernah terbayangkan bahwa akan ada saudara-saudaranya dari jauh di ujung barat sana bisa berjuang untuk datang ke sini dan bisa membaur di sini,” bebernya.
Lanjut dia, Ini bukan sesuatu hal yang mudah, dimana seluruh warga adat nusantara yang tergabung dalam kegiatan ini berjuang penuh dengan kekuatan sendiri untuk bisa melaksanakan kegiatan kongres saat ini. Apapun kekurangan yang dialami itu bukan menjadi halangan bagi seluruh peserta untuk datang ke Papua melaksanakan kegiatan kongres ke-6 warga adat Nusantara itu.
“Kita bisa bicara persatuan dan kesatuan tetapi di atas dukungan dari berbagai pihak, mungkin negara juga. Tapi mereka tidak, mereka berjuang murni untuk kesatuan NKRI. Monumen ini penting mungkin kita lihat sederhana tetapi berarti untuk Indonesia Raya, dari ujung timur Indonesia dari negeri matahari terbit kita akan Suarakan persaudaraan, kekeluargaan toleransi yang murni untuk kejayaan Indonesia,” pungkasnya.
Sekilas catatan mengenai Monumen itu, Monumen sarasehan itu berdiri di atas lahan sekitar dua kali dua meter. Monumen itu dibangun sebagai saksi sejarah kongres warga adat Nusantara di bumi Kenambai Umbai Kabupaten Jayapura, Papua. Monumen ini terdiri dari bagian kepala terdiri dari batu karang asli. Mempunyai makna keberadaan warga adat dengan resiliensi yang kuat dilambangkan dengan batu karang sebagai batu alam yang asli di kawasan ini, yang sudah ada sebelum negara ini ada dan akan terus ada.
Kemudian bagian penopang yang terdiri dari bangunan tembok berbentuk bulat yang diberi ornamen ukiran warga adat suku Buyakha memiliki makna kebesaran, kemakmuran dan kesejahteraan melingkar, mengikat atau merajut keberagaman menjadi satu kekuatan untuk menjaga dan melestarikan tatanan adat di Tanah ini. (roy/wen)
Continue Reading
Sumber: [1]