Papuanesia.id –
Dari kiri ke kanan: Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panmus MRP Benny Sweny, Tenaga Ahli MRP Joram Wambrauw, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Mendagri Tito Karnavian, Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam Mahfud MD, dan Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani, di Istana Merdeka, Senin, (25/4). Sumber foto: Biro Pers Istana
JAYAPURA – Presiden RI Ir. Joko Widodo menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan MRP Papua Barat (MRPB) di Istana Merdeka pada hari ini, Senin, (25/4).
Dalam pertemuan tersebut hadir pimpinan MRP Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), Benny Sweny (Ketua Panitia Musyawarah MRP), Joram Wambrauw (tenaga ahli MRP) dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Sementara itu dari MRP Papua Barat hadir Maxsi Nelson Ahoren dan sejumlah pimpinan MRPB lainnya.
Saat menerima delegasi MRP dan MRPB, Presiden didampingi oleh Menkopolhukam Mahfud MD, Mendagri Tito Karnavian, dan Deputi V Kantor Staff Presiden Jaleswari Pramodhawardani.
Kepada Presiden, Timotius menyampaikan apresiasi atas perhatian Jokowi yang telah berkunjung ke Papua belasan kali.
“Kunjungan itu amat berharga karena mencerminkan perhatian dan kepedulian Presiden dalam membangun Papua. Namun demikian, MRP menemukan adanya dua masalah. Pertama, MRP menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU Otsus. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,“ kata Timotius.
Menurut Timotius, Pasal 77 sangat penting agar ada konsultasi dan partisipasi rakyat Papua, sesuai amanat Bapak Presiden tanggal 13 Februari 2020 yang mengajak semua pihak untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan UU Otonomi Khusus selama 20 tahun.
Timotius menjelaskan, substansi UU hasil perubahan ternyata mengandung banyak pasal yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Banyak pasal yang berubah tidak sesuai isi surat Presiden tertanggal 4 Desember 2020 yang mengamanatkan perubahan terbatas tiga pasal: ketentuan umum, keuangan daerah, dan pemekaran wilayah.
Akan tetapi, setelah dibahas DPR RI justru terdapat 19 pasal yang berubah. Menurut kajian MRP, terdapat sembilan pasal merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP Papua dan MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke MK.
“Kedua, kami juga menyesalkan pembentukan DOB yang tidak melibatkan MRP sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus yang menyatakan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Ini artinya tanpa persetujuan MRP dan DPRP, tidak boleh ada DOB,” tegasnya.
Ketua Tim Panmus MRP Benny Sweny yang juga turut berbicara kepada presiden menambahkan, dari belasan kali kunjungan Presiden ke Papua, belum pernah satu kali pun mengunjungi MRP yang merupakan rumah rakyat Papua.
“Dalam kesempatan berikutnya, mohon Bapak Presiden agar berkunjung ke MRP, karena lembaga ini adalah rumah rakyat Papua.
Menanggapi aspirasi MRP, Jokowi mengaku heran mengapa proses perubahan UU Otsus dianggap tidak melibatkan partisipasi orang asli Papua. Begitupula materinya yang dianggap bermasalah. Pemerintah menghargai langkah MRP menempuh uji materi ke MK. Pemerintah akan menghargai dan menghormati putusan MK.
“Mengenai proses perubahan kedua UU Otsus, sejauh laporan yang saya terima, telah melibatkan DPR RI dan DPD RI, termasuk DPRP dan MRP. Tetapi jika memang ada materi yang sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi, kami akan menghargai, menghormati, dan patuh apa pun putusan MK,“ kata Presiden.
“Mengenai tuntutan pemekaran provinsi, ini memang sering menjadi aspirasi dari daerah. Hampir setiap saya ke daerah, selalu ada tuntutan untuk pemekaran provinsi. Dalam catatan pemerintah,m tercatat dalam data diperhitungkan kondisi fiskal keuangan negara, termasuk potensi APBD daerah. Jangan sampai membebani APBN,“ jelas Presiden.
“Saya ingin menegaskan bahwa pemekaran provinsi bukan hal yang mudah.Kalau ada yang belum baik, kita harus bicarakan lagi. Silahkan melalui menteri-menteri, dan jika masih tidak puas, saya tetap membuka diri. Mengenai undangan MRP, saya tunggu dan saya akan kunjungi MRP segera,“ kata Presiden kepada MRP.
Usai pertemuan, Usman menyampaikan secara langsung kepada Presiden tentang laporan terbaru Amnesty yang menunjukkan memanasnya situasi di Papua, khususnya Intan Jaya. “Saya utarakan juga kepada Presiden tentang meningkatnya kehadiran pasukan militer, seiring dengan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Intan Jaya, Papua,“ katanya.
Sebelumnya ramai diberitakan tentang polemik pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Pada 12 April lalu, DPR RI mengesahkan tiga RUU usul inisiatif berupa RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Tentang Pegunungan Tengah.
Berbagai kalangan pemerhati Papua menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang ingin membentuk DOB di Papua. Mereka menilai, kebijakan itu menyalahi ketentuan Pasal 76 yang mengamanatkan agar pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.
Selain itu, pemekaran juga hanya bisa dilakukan setelah pemerintah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.
Kesatuan sosial budaya penting karena Papua memiliki 250 suku yang sangat beragam. Kebijakan yang keliru dapat memicu konflik baru atau memecah belah Papua, seperti editorial The Jakarta Post pekan lalu.
<span;>MRP mengingatkan bahwa pemerintah wajib menghormati ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan warga hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya….“
MRP juga meminta pemerintah memperhatikan faktor kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Papua karena saat ini banyak kantor pemerintahan provinsi yang kekurangan SDM, terutama orang asli Papua. Belum lagi situasi keamanan.
Menurut MRP, faktor kemampuan ekonomi juga penting diperhatikan dalam pemekaran wilayah. Alasan ekonomi seperti pendapatan <span;>asli daerah (PAD) adalah salah satu alasan Pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran provinsi.
Berbagai kalangan mempertanyakan apakah pemekaran Papua telah melalui sebuah kajian ilmiah berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, (oel).
Continue Reading
Sumber: [1]