Papuanesia.id –
#Kasus Paniai Berdarah Di mana Calon Tersangka Lainnya ?
JAYAPURA-Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan kasus pelanggaran HAM Berat di Paniai, Desember tahun 2014 dengan tersangka purnawirawan TNI berinisial IS akan segera disidangkan.
Bahkan, Penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah melimpahkan tersangka dan barang bukti kasus tersebut ke Jaksa Penuntut Umum.
Dengan pelimpahan tahap II tersebut, penyidik segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makassar.
Dengan pelimpahan tersebut, Kepala Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menilai ini sebuah kemajuan yang luar biasa signifikan, meskipun kejadian tahun 2014 tepatnya 7 tahun silam dan baru ditemukan tersangkanya.
“Kita di Papua punya pengalaman yang belum terlalu elok. kasus Wamena dan Wasior yang belum ada tersangka hingga saat ini,” ungkap Frits saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Kamis (26/5).
Dalam peristiwa Paniai Berdarah menurut Frits, Komnas HAM sebagai tim penyelidik. Dimana hasil penyelidikan Komnas HAM yang kemudian diteruskan ke Kejaksaan Agung yang sebagai tim penyidik sudah melakukan penyidikan dan sudah menetapkan tersangka.
“Jika kita melihat pasal-pasal yang diterapkan untuk tersangka dari UU 26 memang lebih banyak pada pertanggungjawaban,” terangnya.
Menurut Frits, Presiden Jokowi memberikan perhatian serius terhadap upaya penegakan HAM. Dilain sisi yang lebih luar biasanya, Panglima TNI dan Kapolri membuka diri terhadap anggota yang masih aktif maupun purnawirawanya diperiksa.
“Ini sebuah kesadaran para petinggi negara TNI-Polri untuk memberi dukungan terhadap upaya penegakan HAM di Indonesia secara khusus di Papua. Bagi kami yang terpenting sudah ada tersangka dan sudah dilimpahkan, tugas kita berikutnya adalah berharap ini bisa disidangkan,” ucapnya.
Lanjut Frits, soal tempat memang di Makassar. Namun, yang terpenting para korban dan keluarga korban bisa bersedia untuk memberikan kesaksian di pengadilan.
“Komnas HAM akan berkomunikasi dengan para korban dan keluarga korban, sehingga kalau kemudian mereka mendapat panggilan bisa memfasilitasi mereka untuk menghadiri sidang di Makassar untuk memberikan kesaksiannya,” kata Frits.
Disinggung bagaimana jika Komnas HAM diminta menjadi saksi di Pengadilan Negeri Makassar, Frits menjawab bahwa Komnas HAM Papua sebagai tim penyelidik, sementara yang akan menjadi saksi adalah mereka (korban-red) yang dimintai keterangan sebagai saksi dan itu menjadi penting di pengadilan.
“Saya dan teman-teman di tim Ad Hoc masuk dalam tim penyelidik pelanggaran HAM Berat di Komnas HAM, kami tidak bisa dipanggil menjadi saksi. Tapi kalau kemudian nanti Jaksa Penuntut Umum maupun hakim membutuhkan keterangan tambahan, itu sangat dimungkinkan untuk kami ke sana (Pengadilan Makassar-red),” ungkapnya.
Sekarang yang menjadi tugas terpenting menurut Frits, bagaimana saksi korban yang akan berpotensi dimintai kesaksiannya. Oleh sebab itu, tugas Komnas HAM adalah akan berkoordinasi dan berkomunikasi dengan keluarga korban, agar bisa memfasilitasi mereka untuk mengikuti sidang.
“Kita berharap sidang ini bisa cepat dan bisa mendapatkan keadilan. Dan Negara bisa memberi keadilan kepada baik itu korban maupun keadilan kepada keluarga korban. Soal keadilan dalam bentuk seperti apa, itu sudah diatur dalam UU 26 tahun 2000,” jelasnya.
Komnas HAM mengapresiasi Jaksa Agung, Presiden dan TNI-Polri yang mau menegakkan HAM dengan bersedia membuka diri untuk anggotanya diperiksa. Ia juga berharap para korban dan keluarga korban bersedia memberikan keterangan di pengadilan tanpa di bawah paksaan, tekanan dan ketakutan. Oleh sebab itu LBH, penggiat HAM dan Komnas HAM juga dukungan pemerintah untuk memberikan motivasi dukungan kepada korban maupun keluarga korban.
Secara terpisah, Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia Peraih Penghargaan Internasional John Humphrey Freedom award Tahun 2005, Yan Warinussy mempertanyakan langkah Jaksa Agung Republik Indonesia yang sudah melimpahkan tersangka dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai 2014 dari penyidik ke penuntut umum, Selasa (24/5) di Jakarta.
“Pertanyaan saya didasari atas pasal yang disangkakan kepada tersangka IS, yang adalah purnawirawan TNI AD, dengan status saat bertugas selaku perwira penghubung di Kodim Paniai,” terang Yan kepada Cenderawasih Pos.
Sebagai sesama pejabat penegak hukum (catur wangsa), Yan mengaku cenderung sangat khawatir kalau sampai proses hukum yang tengah didorong oleh negara melalui Kejaksaan Agung RI cenderung dipengaruhi oleh tekanan politik internasional semata.
“Sehingga yang terpenting bagi negara adalah kasus Paniai mesti diselesaikan secara hukum dengan adanya seseorang atau beberapa orang yang dijatuhi vonis bersalah oleh Pengadilan HAM di Makassar,” tuturnya.
Padahal lanjut Yan, proses hukum sebagaimana diketahui bersama tidak akan berhenti sampai di Pengadilan HAM Makassar. Terdakwa IS dan penasihat hukumnya bahkan keluarganya tentu memiliki hak untuk melakukan upaya hukum biasa maupun luar biasa hingga ke Mahkamah Agung RI.
“Menurut saya, ini penting diperhatikan dengan seksama dan dianalisa segala kemungkinan yang bakal terjadi dalam praktek penegakan hukum dimulai dari Pengadilan HAM Makassar,” terangnya.
Di sisi lain, justru warga di tanah Papua, khususnya keluarga para korban kasus Paniai 2014 pasti mempertanyakan dimana gerangan calon tersangka lainnya? Apakah benar tersangka IS saat ini memang memiliki posisi sentral dalam konteks memiliki kekuasaan untuk mengendalikan pasukan TNI AD di sekitar lapangan Karel Gobay, Enarotali, Kabupaten Paniai saat itu ?.
Apakah sebagai perwira penghubung, tersangka IS juga memiliki posisi langsung sebagai komandan yang menguasai dan mengendalikan pasukan TNI AD di Paniai ? Termasuk mereka yang diduga terlibat peristiwa pelanggaran HAM Berat tersebut ?
“Kenapa para pelaku lapangan juga tidak ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung RI ? Kenapa mantan atasan tersangka IS tidak dimintai pertanggungjawabannya ? Siapa yang saat itu menduduki posisi sebagai Komandan Rayon Militer (Korem) 173 di Biak? Tidak kah yang bersangkutan juga dimintai pertanggungjawabannya ? Siapa yang saat itu selaku Panglima Kodam XVII/Cenderawasih ? Dimana posisi pertanggungjawabannya secara hukum dan komando militer ?” cecarnya .
Saya kira pertanyaan ini dapat menjadi catatan dalam mengkawal proses hukum perkara dugaan pelanggaran HAM tanggal 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai tersebut. Sehingga dapat memenuhi rasa keadilan yang hidup di tengah warga Papua, khususnya keluarga para korban di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua.
Sekedar diketahui, tragedi Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Sebanyak empat orang warga tewas ditembak dan 21 lainnya terluka ketika warga melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap kelompok pemuda sehari sebelumnya. (fia/nat)
Continue Reading
Sumber: [1]