Home Berita Utama Pelaku Penurunan Bendera Merah Putih Diminta Diproses Hukum – Papuanesia.id

Pelaku Penurunan Bendera Merah Putih Diminta Diproses Hukum – Papuanesia.id

by Papuaku
Pelaku Penurunan Bendera Merah Putih Diminta Diproses Hukum - Cepos Online

Papuanesia.id –

*Amnesty International Indonesia Soroti Sikap Polisi Tangani Demo PRP

JAYAPURA-Ketua Umum Garuda Merah Putih, Yonas Alfons Nusi secara tegas menyatakan bahwa  pihaknya meminta agar pelaku yang mematahkan tiang bendera dan menurunkan bendera merah putih di Wamena, Kabupaten Jayawijaya saat dilakukan aksi demo tolak Daerah Otonom Baru (DOB) beberapa hari lalu diusut dan diproses hukum.

Ia tak ingin kedaulatan negara terganggu hanya oleh sekelompok orang yang tidak  setuju dengan kebijakan negara. Baginya jika ini tak berujung pada penegakan hukum maka akan ada banyak orang yang mempertanyakan wibawa negara.

Yonas meminta pelaku harus diproses hukum termasuk koordinator aksi yang mengumpulkan massa. “Melihat kondisi daerah tanah Papua yang dari waktu ke waktu disibukkan dengan aksi demo, dinamika menerima dan menolak selama ini masih wajar-wajar saja. Penyampaian aspirasi harus tetap sesuai aturan dan bukan seenaknya kemudian kebablasan hingga akhirnya melanggar etika demokrasi,” sindir Yonas di Hamadi, Minggu (5/6).

Ia melihat  upaya pematahan tiang bendera dan turunnya bendera merah putih yang berkibar dari Sabang sampai Merauke adalah perbuatan mencederai  nilai demokrasi dan menjadi upaya merongrong kedaulatan bangsa.

Anggota DPR Papua dari kursi adat ini meminta Polres Jayawijaya melakukan upaya penegakan hukum. Kata Yonas ini bagian dari upaya makar yang dilakukan sekelompok orang untuk mengganggu kedaulatan negara. “Siapapun pelakunya dia harus gentle bertanggung jawab, sebab itu simbol negara. Polda Papua harus membackup penuh untuk memproses pimpinan demo dan harus bertanggung jawab atas upaya paksa dan kesengajaan menurunkan bendera merah putih. Kami akan memantau perkembangan kasus ini dan kami minta itu ditindaklanjuti secara hukum,” tegasnya.

Merah putih kata Yonas adalah harga mati dan bendera yang diakui dunia. Bukan bendera yang dipasang di tiang reklame, di pasar maupun di hutan-hutan dengan cara diam-diam. “Ini untuk pembelajaran bahwa menerima atau menolak sebuah kebijakan yang dilakukan dengan aksi demo itu biasa. Tapi semua ada etika dan aturan mainnya, bukan terlihat konyol seperti itu,” pungkasnya.

Sementara itu, Amnesty International Indonesia menyoroti tindakan Kepolisian dalam menangani aksi demo yang dilakukan Jumat (3/6) lalu.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyayangkan sikap Kepolisian yang menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam menyikapi aksi demo yang dimotori Petisi Rakyat Papua.

“Orang asli Papua memiliki hak untuk memprotes kebijakan pemerintah secara damai tanpa adanya kekhawatiran untuk ditangkap atau menerima kekerasan,” ungkap Usman Hamid kepada Cenderawasih Pos, melalui pesan WhatsAppnya, Jumat  (3/6) lalu.

Usman Hamid menyebutkan, dari keterangan pembela HAM setempat disebutkan  setidaknya 11 pengunjuk rasa di Jayapura terluka setelah polisi membubarkan demonstrasi secara paksa di Kelurahan Waena, Distrik Heram. “Insiden yang berulang ini menunjukkan bahwa negara tidak menghormati suara orang asli Papua,” tegasnya.

Amnesty International menyadari bahwa aparat penegak hukum sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka. Tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kejahatan.

Penggunaan kekerasan dan senjata api berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi oleh Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak. Oleh karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990).

Penggunaan kekuatan yang eksesif oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No. 1/2009). Pasal 19 ICCPR juga melindungi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk protes. (ade/oel/nat)

Continue Reading

Sumber: [1]

Related Posts