Papuanesia.id –
JAYAPURA – Peringati Kematian tiga Tahun lalu Mispo Gwijangge yang salah tangkap oleh aparat kepolisian Indonesia, Kuasa Hukum sebut Kepolisian Indonesia Sering terapkan pasal KUHP yang tidak adil kepada orang asli Papua, (OAP).
Maikel Himan SH MH Mewakili Kuasa Hukum Almarhum Gwijangge, melalui telepon selulernya kepada Cenderawasih Pos, Minggu, (14/8), mengatakan, saat ini dua tahun kepergian Mispo Gwijange yang salah tangkap.
Ia mengatakan Kebohongan polisi soal kasus Mispo Gwijangge tiga tahun lalu sebelum polisi berbohong soal kematian Brigadir J. Hal ini menjadi serupa bagaimana memanipulasi kasus oleh Kepolisian bagi orang Papua.
Himan mengatakan Mispo Gwijangge bocah berumur 15 tahun dituduh terlibat kasus pembunuhan 17 buruh PT Istaka di Nduga, 02 Desember 2018. Dia tidak terlibat pembunuhan, ditangkap dan disiksa selama 6 bulan dalam tahanan Polres Jayawijaya. ” Tanpa sepengetahuan pihak keluarga, dibawa ke Jakarta sementara dia buta huruf, tidak bisa berbahasa Indonesia, menghadapi persidangan dengan ancaman hukuman mati (Pasal 340 KUHP). Disidang di PN Jakarta Pusat antara bulan Januari – April 2020.
Meski selamat dari ancaman hukuman mati, Mispo Gwijangge akhirnya meninggal dunia akibat siksaan yang dia derita selama ditahan polisi hingga pada 6 Januari 2021, Mispo meninggal setelah berbulan-bulan merasa nyeri di paru-parunya. Bagian dada dan punggungnya sering dipukuli oleh polisi yang menginterogasinya,” katanya.
Ia mengataan, Mispo adalah bukti Polisi mau ada pertangungjawab ke negara dengan melakukan penagkapan kepada orang yang tidak bersalah dan ini merupakan skenario Polri yang enggan melakukan penyidikan langsung di lapangan.
“Sehingga siapa pun yang tidak salah, sering juga ditangkap sebagaimana kasus adik umur 15 tahun ini ditangkap dan dipukul di proses di Polres Jayawijaya, dan Mispo Gwijangge saat diperiksa, melakukan berita acara tidak didampingi kuasa hukum. Dia tidak tahu menulis dan membaca sepeti anak lain tapi malah diputuskan sepihak oleh polisi dan jaksa penuntut umum pada saat itu,” katanya.
Ia mengatakan Fair trial atau peradilan yang adil adalah sebuah prinsip yang merupakan indikator dari terbangunnya warga dan sistem hukum yang adil. Tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil bagi orang Papua, orang yang tak bersalah seperti Mispo Gwijangge akan banyak memasuki sistem peradilan pidana dan masuk dalam penjara. Maka Himan mengatakan tanpa penerapan prinsip peradilan yang adil, hukum dan kepercayaan warga terhadap hukum serta sistem peradilan akan runtuh.
Ia mengatakan Undang-undang (UU) tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik namun pada kenyataanya dalam penegakan Hukum di Papua ada perbedaan. ” Kami lihat ada perbedaan penerapan KUHP sendiri terhadap OAP dan bukan OAP sehingga penegakan hukum tidak adil, bagi orang Papua ,” katanya.
dia mencontohkan, misalanya dalam kontes demostrasi dan orang tidak bersalah ditangkap dan mereka bisa dapat penyiksaan juga tidak ada keadilan sehingga KUHP terkesan ada penerapan yang berbeda bagi orang Papua.
“Kalau mengacu pada pada UU Nomor 8 Tahu 1981 tetang KUHAP (hukum acara pidana) dan penegakan hukum Kepolisian kerap sekali mengabaikan hak Fire trial terhadap Orang Papua, salah satunya kasus Mispo Gwijangge.
Terkait kasus ini pihaknya bersama koalisi advokasi hukum seperti LBH Jakarta dan kontras dan juga individu akan melakukan praperadilan terhadap mereka yang melakukan penangkapan dan proses Mispo Gwijangge. “Kami mulai Tahun kemarin saat genap dua tahun pembunuhan adik kami Mispo.Kami akan melakukan Peraperadilan bagi mereka yang pernah menangkap atau memproses adik Mispo ini, karena kami melihat polisi bisa melakukan rekayasa kasus Brigadir Josua, artinya rekayasa ini yang sering dilakukan bagi orang Papua, maka kami kedepanya akan praperadilan, tentang ganti rugi selama Mispo ditahan dan ditangkap, walau pun ia sudah meningal harus ada ganti rugi,” kata,(oel).
Continue Reading
Sumber: [1]