Foto: Menteri BUMN Erick Thohir di acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2020 di The Ritz Carlton Ballroom, Pasific Place, Jakarta, Rabu 26/2/2020. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia – Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menurunkan jumlah BUMN semakin lancar setelah memperoleh restu dari Presiden Joko Widodo. Langkah pertama yang dilakukan kementerian dengan mengkonsolidasikan perusahaan sudah terjadi, tahap selanjutnya akan segera dieksekusi.
Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan kewenangan dari Presiden sudah dikantongi. Dia akhirnya dapat menggabungkan dan melikuidasi perusahaan BUMN. Wewenang ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 40/M Tahun 2020 tentang Pembentukan Tim Percepatan Restrukturisasi BUMN.
“Sebagai info, dari 142 BUMN sekarang kita bisa tinggal 107, sudah signifikan dan terus kita turunkan. Akan jadi 80-70 ke depannya. Ini tahap 1 sudah dilaksanakan, berikutnya kita coba lakukan tahap selanjutnya. Ini juga kita turunkan klasterisasi. Sudah kita turunkan dari 27 jadi 12, jadi masing masing Wamen [wakil menteri] pegang 6 klaster,” kata Erick dalam paparannya kepada Komisi VI DPR RI, Selasa (9/6/2020).
Konsolidasi yang dilakukan adalah dengan menggabungkan BUMN serupa dalam satu holding. Seperti di sektor farmasi, kementerian menunjuk Bio Farma (Persero) menjadi induk perusahaan, dengan anak usahanya PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma Tbk (INAF).
Kemudian di sektor perasuransian, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero)/BPUI didapuk menjadi induk usaha dari sejumlah perusahaan asuransi. Anak usahanya antara lain PT Asuransi Jasa Raharja, PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo).
Tak hanya penggabungan, likuidasi juga akan dilakukan. BUMN yang berpotensi dilikuidasi adalah PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) dan PT Iglas (Persero).
Hal ini disampaikan oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga. Dia menyebutkan beberapa perusahaan yang sudah masuk dalam list kementerian untuk segera dilikuidasi karena dinilai tak lagi bisa dipertahankan.
“Anda tahu Merpati? Masih terbang nggak? Nggak. Tapi masih ada perusahaannya. Masih terbang nggak? Kalau soal pesawat ada, kalau nggak terbang kan nggak ada operasi, tapi masih ada Merpati,” kata Arya, Sabtu (6/6/2020).
Lalu, sebenarnya bagaimana kinerja kedua perusahaan tersebut hingga masuk dalam daftar perusahaan yang dipertimbangkan untuk dilikuidasi?
Iglas
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan BUMN kepada pemerintah pusat untuk periode yang berakhir pada Desember 2018, tercatat kinerja keuangan kedua perusahaan tersebut.
Menurut laporan tersebut, hingga akhir 2018 Iglas membukukan pendapatan senilai Rp 690 juta dan perusahaan juga mendapatkan pendapatan lain-lain senilai Rp 2,84 miliar.
Namun sayangnya beban usaha perusahaan justru lebih tinggi dibanding dengan pendapatan ini, yakni mencapai Rp 6,56 miliar. Selain itu juga terdapat beban lain-lain senilai Rp 57,13 miliar, beban bunga juga tinggi mencapai Rp 48,42 miliar.
Kondisi keuangan yang parah ini membuat perusahaan harus mencatatkan kerugian tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas pengendali senilai Rp 84,61 miliar.
Merpati
Merpati justru sama sekali tak lagi beroperasi sehingga perusahaan ini tak lagi mencatatkan kinerja keuangan sama sekali pada tahun tersebut.
Merpati Nusantara Airlines (MNA) sempat ramai menjadi perbincangan publik Oktober tahun lalu, saat pelantikan kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Maskapai yang didirikan pada 6 September 1962 dan ditutup sejak 1 Februari 2014 itu memang sempat mendapat angin segar untuk menjalankan kini bisnis kargo udara kembali setelah pada Rabu (16/10/2019), manajemen Merpati meneken kerja sama dengan 10 perusahaan BUMN.
Secara B to B, Merpati bekerjasama dengan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) untuk pengiriman kargo udara. Namun Direktur Utama Merpati Airlines Asep Eka Nugraha ketika belum bisa memastikan kapan maskapai tersebut akan kembali mengudara.
“Enggak terkejar kalau tahun ini [terbang lagi]. Sertifikasi [dari Kementerian Perhubungan] itu kan panjang,” kata Asep kepada wartawan di Kantor Kementerian BUMN, Rabu (16/10/2019).
Sebelum tutup 6 tahun lalu, Merpati awalnya cukup sukses melayani penumpang pesawat di Tanah Air sebelum masuknya maskapai bertarif murah alias LCC yang diawali dengan hadirnya Lion Air pada Juni 2000.
Pada awalnya, mengacu data Kementerian BUMN, Merpati hanya menawarkan layanan penumpang, lalu kemudian berkembang di bisnis layanan darat (ground handling) dan pelatihan awak dan pilot.
Selain itu, perseroan juga mendirikan Merpati Maintenance Facility (MMF) yang menyediakan perawatan dan perbaikan pesawat yang berbasis di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, Jawa Timur.
Para 2015, jumlah karyawan Merpati di kantor pusat sebanyak 33 orang dan 152 orang di kantor cabang. Pada 2016, jumlah karyawan kantor pusat hanya 29 orang dan kantor cabang 132 orang.
Mengacu data kinerja BUMN periode 2015 (setahun setelah tutup), Merpati masih tercatat memiliki aset mencapai Rp 1,32 triliun, berkurang dari aset 2014 sebesar Rp 2,46 triliun dan pada 2012 sebesar Rp 2,79 triliun.
Ekuitas perseroan juga negatif hingga Rp 8,59 triliun dari tahun sebelumnya Rp 6,12 triliun, dan tahun 2012 negatif sebesar Rp 3,74 triliun. Sementara kewajiban Merpati pada 2015 yakni mencapai Rp 9,92 triliun dari 2014 yakni Rp 8,59 triliun dan 2012 sebesar Rp 6,55 triliun.
Sepanjang 2015, perseroan masih membukukan pendapatan Rp 43 miliar, amblas 64% dibandingkan dengan 2014 yakni Rp 121 miliar dan anjlok hingga 98% dari 2012 yang masih sebesar Rp 1,75 triliun.
Merpati mencetak rugi bersih Rp 2,48 triliun, membengkak 209% dari tahun sebelumnya Rp 803 miliar dan rugi bersih 2012 sebesar Rp 1,54 triliun.
(hps/hps)