Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan terus menunjukkan penguatan yang cukup signifikan pada perdagangan jelang akhir pekan ini, Jumat (5/6/2020).
Di pasar spot, pagi ini mata uang Garuda dibuka pada level Rp 14.075 per dollar AS, kemudian menguat ke level di di bawah Rp 14.000, tepatnya pada Rp 13.885 per dollar AS, mengacu data Refinitiv.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), Josua Pardede menjelaskan, ada beberapa katalis yang mendorong rupiah kembali menguat terhadap the greenback.
Melemahnya dolar AS secara umum sebesar 1,56% selama sepekan terakhir ini utamanya disebabkan oleh terakumulasinya ekspektasi dari para investor terkait dengan pembukaan ekonomi kembali di berbagai negara Asia. Terbukti dari sisi pasar Asia, sebagian besar mata uang Asia di pekan ini mengalami penguatan, kecuali yen Jepang.
Josua melanjutkan, penguatan lebih lanjut dari rupiah juga akibat adanya investor yang memindahkan asetnya dari pasar India, akibat adanya penurunan peringkat negara itu oleh Moody’s dari BAA2 menjadi BAA3 dan menurunkan outlook-nya dari sebelumnya “stabil” menjadi “negatif”.
Sebelumnya, Moody’s memangkas peringkat kredit India sejalan dengan S&P dan Fitch yang masing-masing menurunkan peringkat India menjadi BBB-, setelah peningkatan mengejutkan pada November 2017 lalu.
Moody’s menjelaskan bahwa tindakan pemeringkatan tidak banyak didorong oleh pandemi tetapi lebih karena kerapuhan makro ekonomi India yang berkembang bahkan sebelum Covid-19.
“Dengan struktur negara yang mirip, penurunan ini diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mendorong perpindahan aset ke Indonesia, yang kemudian meningkatkan permintaan akan rupiah dan mendorong penguatan rupiah,” katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (5/6/2020).
Sedangkan dari dalam negeri, penguatan rupiah cenderung disebabkan oleh dimulainya transisi pembukaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah, seperti di DKI Jakarta.
Josua mencatat, sepanjang pekan ini, rupiah sudah menguat sebesar 4,75%, tertinggi di Asia. Sejak mencapai titik terendahnya di level 16.575, Rupiah sudah mengalami penguatan sebesar 19,37%.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, penguatan rupiah disebabkan oleh pertama, melimpahnya likuiditas di pasar keuangan global seiring dengan program stimulus yang dilakukan di AS dan banyak negara maju.
Kedua, lanjutnya, mulai dibukanya aktivitas perekonomian di beberapa negara yang memunculkan ekspektasi positif pasar.
Hal ini juga menjadi keputusan pemerintah untuk mulai melonggarkan perekonomian dengan tetap menjalankan protokol kesehatan secara ketat.
“Sentimen ini memberikan harapan dan meningkatkan kepercayaan pasar,” kata Senior Economist Bank Indonesia periode 2011-2017 ini saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (5/6/2020).
Tidak hanya itu saja, dari beberapa indikator, katanya, sentimen itu telah memberikan keyakinan terhadap pasar terutama terkait kebijakan pemerintah dan otoritas yang cukup responsif terhadap penanganan wabah Covid-19.
Gubernur BI, Perry Warjiyo saat memberikan paparan Perkembangan Ekonomi Terkini pekan lalu mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.
“Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah” kata Perry, Kamis (28/5/2020).
“Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya” tegas Perry.
(tas/tas)