Papuanesia.id –
Suasana sidang gugatan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di MK, Jakarta. (Noel/Cepos)
*Dari Lanjutan Sidang Gugatan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021
JAYAPURA-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang secara daring kelima terkait gugatan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Kamis (10/3).
Dalam persidangan yang digelar secara daring tersebut, pimpinan dan anggota MK mendengarkan saksi fakta dari MRP.
Pada sidang yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, tim Kuasa Hukum MRP sebagai pihak pemohon menghadirkan empat orang saksi yaitu Nursahri, Benny Sweny, Helena Hubi dan Whenslaus Fatubun.
Para saksi mengungkap bagaimana agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) MRP untuk mengumpulkan kembali UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, dihalang-halangi aparat kepala daerah dan sejumlah warga yang disetting.
Dalam pembuktian di Mahkamah Konstitusi, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Helena Hubi menjelaskan MRP mengagendakan jumlah RDP di lima wilayah adat, namun untuk wilayah Lapago dihalangi oleh aparat sehingga tidak digelar.
“Rapat dengar pendapat Majelis Rakyat Papua ini tidak bisa dilaksanakan karena ada pihak-pihak tertentu, menganggap bahwa rapat dengar pendapat itu liar dan bertentangan dengan negara. Sehingga dibenturkan dengan aparat yang mengakibatkan kegiatan rapat dengar pendapat tidak dilaksanakan di Papua,” katanya.
Sementara Benny Sweny selaku Wakil Ketua Tim Kerja RDP MRP dalam kesaksiannya mengatakan bahwa upaya MRP menggelar RDP Otsus Papua di wilayah adat Saireri juga sempat dihalang-halangi aparat keamanan di Biak.
“Para anggota MRP yang datang ke Biak untuk menyelenggarakan RDP Otsus Papua. RDP Otsus Papua di Wilayah Adat Saireri itu akhirnya bisa terlaksana setelah Bupati Biak turun tangan dan membantu mengelar RDP dan diserahkan ke MRP,” ungkapnya.
“Kami berterima kasih kepada Bupati Biak yang kemudian menyelenggarakan RDP dengan dan memberikan rekomendasi sebanyak 13 poin kepada kami untuk disampaikan kepada pimpinan, dan selanjutnya dibahas dan dihimpun,” sambungnya.
Meskipun MRP telah menerima masukan dari berbagai pihak terkait rencana revisi UU Otsus Papua, Benny Sweny menyatakan pada akhirnya MRP tidak dilibatkan sama sekali dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) revisi UU Otsus Papua.
Sweny menegaskan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Revisi UU Otsus Papua) dibahas dan diundangkan tanpa melibatkan MRP.
“Agenda MRP ini jelas berjalan dalam bingkai NKRI dan Papua masih NKRI. Negara Indonesia stop mencurigai MRP, karena MRP adalah buah dari UU Otsus Papua yang diberikan negara kepada Orang Asli Papua,” tegas Sweny.
Saksi ketiga Wenslaus mengatakan berdasarkan atas pengalamannya itu dan juga kesaksian yang didengarnya dari Amatus Ndatipist dan Felisitas Kabagaimu yang merupakan staf MRP dan perwakilan orang asli Papua peserta RDP MRP wilayah adat Anim Ha, ada seorang staf MRP yang mengalami masalah kejiwaan pasca istrinya ditahan bersama dirinya.
“Ada juga seorang staf MRP, yang ditahan bersama saya, masih terus bertanya kepada saya ketika bertemu tentang masa depannya sebagai ASN. Kami masih trauma. Saya berharap, kesempatan bersaksi ini di hadapan Yang Mulia Majelis Hakim sebagai ruang dimana ada pemulihan terhadap kami yang sedang mengalami trauma sejak penangkapan. Terima kasih Yang Maliah Majelis Hakim. Semoga Tuhan memberkati Majelis Hakim,” ucapnya.
Sementara itu Ketua MRP Timotius Murib mengatakan MRP yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjalankan undang-undang amanat otonomi khusus negara Republik Indonesia, namun justru dibungkam.
“Kami ini lembaga pemerintahan, yang jalankan agenda UU RDP yang merupakan agenda UU Otsus yang dibuat negara, kok kami dihalangi. Sehingga ini membuat bingung, karena kami dibentuk oleh Undang-Undang 21 tahun 2001 dan wewenang MRP salah satunya adalah rapat dengar pendapat itu tapi dibenturkan dengan aparat,” jelasnya.
Dikatakan, pada tangal 28 Maret 2022, majelis hakim MK akan mendengar saksi ahli dari pihak tergugat yaitu pemerintah, sehingga MRP akan menyimak bersama.
Dia juga mengatakan bahwa undang-undang otonomi khusus itu memprioritaskan empat bidang yaitu kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan ekonomi rakyat. Dimana MRP bagian yang bermitra dengan pemerintah provinsi dan DPRD provinsi untuk menjalankan undang-undang otonomi khusus.
“Kami ini juga lembaga negara yang sah dan punya wewenang yang menjalankan otonomi khusus, tetapi ada pihak-pihak tertentu menilai Majelis Rakyat Papua merupakan lembaga yang tidak resmi,” sesalnya.
Dia menduga hal ini karena ada beberapa oknum yang memang tidak memahami fungsi dan tugas serta tupoksi dari Majelis Rakyat Papua dengan menggelar rapat dengar pendapat, untuk melihat dan mencari tahu apakah pelaksanaan otot selama 20 tahun ini betul-betul bermanfaat bagi orang Papua atau tidak tapi malah dibatasi.
“Rapat dengar pendapat dibenturkan dengan beberapa pihak agar kegiatannya tidak menjalankan, sehingga dengan hadirnya undang-undang otonomi khusus yang baru saat ini dilakukan tanpa melibatkan pemerintah provinsi, DPR provinsi, Majelis Rakyat Papua dan warga Papua secara aspiratif. Tapi yang terjadi adalah tindakan sepihak dari Jakarta dengan mengadakan 19 pasal untuk UU Nomor 2 tahun 2021,” tutupnya.
Sementara Koordinator Kuasa Hukum, Saor Siagian, SH, MH., mengaku bersyukur atas adanya komitmen dari 3 saksi fakta dan satu saksi dari Aceh. Dimana saksi menyampaikan pengalamannya ketika melakukan tugas negara sesuai UU Otsus karena Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representasi orang asli Papua.
“Saya sangat prihatin dalam hal ini aparatur negara, bukan saja menjamin keamanan namun yang terjadi adalah intimidasi sangat sempurna dengan intimidasi dari TNI, Polri dan BIN,” katanya.
Ini membuatnya sangat sayangkan, karena MRP bersama pemimpin dan anggotanya telah berupaya untuk melakukan tugas negara sesuai fungsi dan tugasnya dalam undang-undang otonomi khusus.
“Kami ini negara hukum sehingga kami minta tadi pada saat sidang apakah perlakuan aparat keamanan melakukan borgol, intimidasi dan ancaman, apakah ada tindakan hukum, sampai proses saksi ini pun tidak ada,”tuturnya.
Dikatakan, bahkan salah satu saksi fakta Wenseslaus yang sempat diancam mengaku bahwa dengan diberikannya kesaksian saat ini merupakan shock terapi bagi dirinya. Karena selama ini dia mengaku mengalami trauma dari tindakan aparat bersama dengan tim lainnya yang sampai saat ini masih mengalami ganguan jiwa.
“Karena sampai dengan saat ini orang yang melakukan tindakan kriminalisasi dan intimidasi harus dihukum. Karena kita tidak mau jangan-jangan orang yang melakukan tindakan itu adalah aparat yang liar,” katanya.
Untuk itu, melalui Mahkamah Konstitusi yang penuh dengan kesakralan ini, tindakan tersebut dapat difollow up agar mereka yang telah melakukan tindakan pelanggaran hukum dengan sewenang-wenang melakukan intimidasi, harus dihukum.
“Aparat kepolisian yang melakukan tugasnya dengan sewenang-wenang harus dihukum dan bisa ditegakkan,” pintanya.
Sementara itu, dari proses persidangan sendiri telah terlihat bahwa saksi fakta Benny Sweny mengungkapkan bahwa apa yang ditanyakan bahwa keberpihakan MRP ke Papua atau NKRI telah disampaikan secara tegas bahwa Majelis Rakyat Papua berada dalam bingkai NKRI dan bertindak sesuai undang-undang otonomi khusus yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Sehingga tidak perlu ada stigmatisasi kepada ada orang Papua dan Majelis Rakyat Papua terkait ideologi dan stigmatisasi.(oel/nat)
Continue Reading
Sumber: [1]