JAKARTA, Papuanesia.id – Perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia memiliki sejarah panjang di Indonesia, khususnya Tanah Papua. Setelah hampir setengah abad, Freeport akhirnya dikuasai Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (Persero) sebagai pemegang saham mayoritas sebesar 51,2 persen.
Kisah awal Freeport perusahaan asal Amerika mengeruk emas dimulai dengan penandatanganan kontrak dengan pemerintah Indonesia saat itu pada tahun 1967. Ini menjadi kontrak pertama negara dengan perusahaan asing.
Namun semua dimulai jauh sebelum itu, dikutip dari Real History Archives dalam artikel yang berjudul JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur yang ditulis Lisa Pease pada 1996, Freeport yang mendominasi gunung emas Papua sejak 1967 ternyata telah memulainya sejak beberapa tahun sebelumnya.
Freeport awalnya bernama Freeport Sulphur. Pada 1959 silam, ketika terjadi pergantian kekuasan di Kuba, Freeport menghadapi masalah dan nyaris bangkrut sebab pemimpin Kuba Fidel Castro menasionalisasikan seluruh perusahaan asing di negerinya.
Di tengah situasi yang tidak pasti tersebut, pada Agustus 1959 Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu dengan Managing Director East Borneo Company Jan van Gruisen, yang merupakan perusahaan tambang di Kalimantan Timur.
Dalam pertemuan, Gruisen menceritakan soal laporan yang ditulis Jean Jacques Dozy mengenai sebuah gunung yang disebut Ertsberg atau Gunung Tembaga di Papua Nugini, Irian Barat.
Laporan tersebut menyebutkan di wilayah itu terdapat gunung penuh bijih tembaga. Bahkan, kandungan bijih tembaga yang ada di sekujur tubuh Gunung Ertsberg terhampar di atas permukaan tanah.
Wilson pun antusias dan langsung melakukan survei atas Gunung Ertsberg. Dalam surveinya, Wilson tidak hanya menemukan bijih tembaga tetapi ternyata Gunung Ertsberg penuh bijih emas dan perak.
Freeport memutuskan meneken kontrak eksplorasi dengan East Borneo Company pada 1 Februari 1960. Namun, nyatanya terjadi perubahan eskalasi politik di Indonesia, khususnya Irian Barat.
Hubungan Indonesia dan Belanda memanas. Bahkan Soekarno, Presiden Indonesia saat menempatkan pasukan militer di Irian Barat. Perjanjian kerja sama antara East Borneo Company dan Freeport pun kembali mentah.
Pemerintahan AS saat itu dikuasai John F Kennedy (JFK) justru membela Indonesia dan mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan kepada Belanda jika tetap mempertahankan Irian Barat.
Editor : Donald Karouw
Sumber: [1]