Papuanesia.id –
*Presiden Jokowi Diminta Bahas SDA Dengan NFRPB
JAYAPURA-Ditengah konflik bersenjata di Papua yang terus bergejolak akhir-akhir ini, Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) justru menolak rencana dialog Jakarta-Papua.
Panglima Tertinggi TPN-OPM Demianus Magai Yogi mengaku, dialog dianggap tak menjadi jaminan untuk mengatasi masalah konfilk di Papua. Dimana anak-anak dan mama-mama kerap menjadi korban dari penganiayaan dan penembakan aparat.
Kalaupun dialog antara Jakarta dan Papua itu dilakukan menurut Demianus, harus dilakukan di luar negeri dalam hal ini menghadirkan OPM, ULMWP dan PBB menjadi pihak ketiga.
“TPNPB-OPM tetap menolak apa pun tawarannya. Masalah mendasar di Papua itu tentang status Papua, bukan soal kesejahteraan,” ungkap Demianus Magai Yogi saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Kamis (10/3).
Alasan Demianus menolak dialog Jakarta-Papua dilakukan di Indonesia, lantaran belajar dari pengalaman sebelumnya. Dimana dialog Jakarta-Papua sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 1999 oleh tim 100.
“Dibalik dialog tim 100 itu justru membawa Otsus, semua ini ulah politik dari pemerintah. Kami takutnya ketika nanti dilakukan dialog Jakarta-Papua di Indonesia, yang dibahas justru pemekaran. Padahal yang kami inginkan bukan seperti ini. Bukan soal pemekaran apalagi pembangunan tapi keinginan kami untuk menentukan nasib sendiri,” kata Demianus.
Dikatakan Demianus, dalam konsep TPNPB-OPM bukan dialog yang utama. Namun sebuah perundingan yang di dalamnya hadir pemerintah Indonesia dan Papua yang diawasi PBB serta negara-negara anggota PBB yaitu MSG, PIF dan ACP untuk melihat pelanggaran HAM berat di Papua.
“Serta klarifikasi resolusi PBB No. 2504 yang dikeluarkan Majelis Umum PBB tanggal 19 November 1969 harus diubah. Pepera dulu tidak sah, cacat hukum, dan manipulasi sejarah,” tegasnya.
Ia mengatakan, sejarah mencatat penentuan pendapat rakyat di Papua tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Terdapat kesalahan referendum menjadi jalan keluar ke mana nanti Papua, bukan dialog.
“Selama Otsus hadir di Papua, pembangunan itu belum cukup merata dan dirasakan oleh orang Papua. Mereka memang membangun rumah sakit dan fasilitas lainnya termasuk pendidikan. Namun kami belum seutuhnya merasakan itu, terlebih saudara saudara kami yang ada di pelosok Papua belum tersentuh,” ucap Demianus.
Selain menolak dialog Jakarta-Papua yang dilakukan di Indonesia, Demianus juga menolak pembentukan DOB atau pemekaran. Baginya semua itu bukan solusi untuk membangun Papua.
“DOB ataupun pemekaran justru menambah jumlah militer yang datang ke Papua, dan ruang hidup bagi orang Papua semakin dibatasi,” tutupnya.
Sementara itu, Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) nampaknya tak main-main untuk mendapatkan pengakuan penuh sebagai negara berdaulat.
Berbagai hal dipersiapkan guna meyakinkan publik tak hanya nasional tetapi internasional bahwa mereka memiliki persyaratan dan kemampuan untuk bisa berdiri sendiri.
Dengan modal kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, NFRPB memastikan tak pusing lagi untuk melangkah jauh. Bahkan Indonesia diminta untuk bersiap-siap jika sewaktu-waktu keduanya harus berpisah.
Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut melalui Ketua Dewan Nasional Papua Barat (DNPB), Onesimus Banundi menjelaskan bahwa NFRPB telah memenuhi syarat hukum internasional untuk terbentuknya suatu negara. Rakyat, wilayah hukum, pemerintahan dan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain sebagaimana ditetapkan dalam konvensi montevido tahun 1993 tentang hak dan kewajiban negara hukum.
Apalagi dikatakan dalam konteks hukum kolonial Belanda, NFRPB memenuhi syarat karena rakyat NFRPB adalah bangsa Papua sesuai manifesto politik 19 Oktober 1961 di Holandia ketika itu atau Jayapura saat ini. Kemudian wilayah hukum NFRPB adalah bekas wilayah jajahan Papua – Belanda dan negara federal dikatakan telah terbentuk sejak 19 Oktober 2011 lewat Kongres Rakyat Papua III.
Selain itu, NFRPB memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan bilateral dengan negara lain khususnya di kawasan Pasifik. “Dari catatan ini kami NFRPB mengajukan proposal perundingan, pengakuan dan peralihan kedaulatan dari pemerintahan Indonesia secara damai,” beber Banundi di Jayapura, Kamis (10/3).
Lalu berkaitan dengan konvensi Wina tahun 1978 maka antara NFRPB dan pemerintah Indonesia perlu membicakan hak dan kewajiban masing – masing pihak, salah satunya yang berkaitan dengan pertambangan. Sektor pertambangan tersebut selama ini dikelola oleh perusahaan multi nasional dan perusahaan lokal di Indonesia.
“Selain itu perlu dibahas bagaimana pemindahan berbagai jenis pajak royalty, kompensasi dan hal lain yang menjadi hak warga Papua yang selama ini diambil oleh pemerintah Indonesia. Harus ada informasi dan data yang disampaikan oleh Indonesia serta perusahaan yang dimaksud secara transparan sehingga bisa dihitung Produk Domestic Bruto (PDB) dan Produk Domestic Netto (PDN),” tandasnya
Banundi mencontohkan kasus perdagangan karbon atau carbon trade yang menyerap triliunan rupiah masuk ke APBN dan yang dipertanyakan adalah berapa yang diterima warga adat pemilik hutan seperti wilayah Cartenz di Timika, Lorenz di Merauke, Bilugay di Nabire, Foja di Mamberamo dan Cycloops di Jayapura termasuk Arfak di Papua Barat.
“Keuntungan dan royalty harus dihitung secara terbuka dalam perundingan oleh masing-masing pihak agar ketahuan hak dan kewajiban saat peralihan administrasi kekuasaan atau kedaulatan,” bebernya.
Hal lain disampaikan bahwa dari hitung – hitungan di atas akan ketahuan apa yang harus ditanggung soal hak dan kewajiban oleh masing – masing. Apakah kewajiban ini ditanggung oleh NFRPB sebagai negara pengganti atau ditanggung Pemerintah Republik Indonesia sebagai negara yang digantikan.
Setelah mengetahui PDB dan PDN yang masi dari berbagai hasil SDA maka semua akan menjadi jelas dan adil dalam tanggungan hak dan kewajiban masing – masing pihak. “SDA kami sangat cukup, bayangkan saja nilai yang diperoleh dari carbon trade atau uang tanpa keringat dari 6 titik di atas. Contoh di Gunung Foja, dalam setahun itu menghasilkan Rp 27 triliun ini perdagangan carbon dan ini belum Cartenz serta titik yang lain. Ada banyak sumber daya alam yang dimiliki Papua dan kami ingatkan soal hitung – hitungan ini,” beber Banundi.
Pemerintah Indonesia melalui Presiden Jokowi diingatkan bahwa syarat hukum internasional sudah dipenuhi dalam kongres III lewat deklarasi sepihak dan hari ini pihaknya mengumumkan soal potensi SDA yang sifatnya kuantitatif atau hanya beberapa contoh. Nantinya NFRPB akan mengumumkan secara kualitatif.
“Kami sampaikan agar pemerintah Indonesia membuka diri. Terakhir kami akan sampaikan soal SDM yang ada di Tanah Papua sebab kehutanan dan pertambangan penyumbang terbesar untuk republik ini termasuk kami akan umumkan data SDA dan SDM guna memastikan bahwa kami benar-benar siap menjadi negara berdaulat,” tegasnya.
Disini pria yang sempat ditahan di Polda tahun 2015 usai bertemu Menhan ini menyampaikan menjelaskan bahwa NFRPB meminta Presiden Jokowi membuka diri dan menerima permintaan perundingan sebab hanya dengan ini semua persoalan bisa didudukkan tanpa harus berdarah – darah.
“Ingat, yang hanya bisa berunding dengan sebuah negara adalah NFRPB sebab kami bukan kelompok. Dari KRP III kami sudah menyatakan sebagai negara sendiri dan berdiri sendiri dari pengakuan sepihak dan itu sah sehingga kelompok lain tidak bisa mengajukan diri untuk berunding karena bukan sebagai negara melainkan hanya kelompok. Dan perundingan yang kami ajukan difasilitais pihak ketiga,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia dikatakan perlu jujur dengan SDA yang dimiliki di tanah Papua mengingat selama ini dari SDA tanah Papua itulah yang menghidupi Jakarta dan provinsi lainnya.
Sementara Papua dan Papua Barat masih disebut sebagai provinsi termiskin di Indonesia. “Padahal dari kekayaan alam Papua inilah Jakarta dan provinsi lainnya dibantu untuk hidup. Kami punya SDA yang dipakai untuk menghidupi Indonesia. Kalau perundingan tidak direspon tentu langkah selanjutnya adalah membahwa ke mahkamah internasional,” sambung Banundi.
“Ingat, ketika Belanda dan Indonesia berunding selama 3 bulan yang terjadi adalah Indonesia harus membayar belanda 4,3 miliar golden. Itu terjadi pada 27 Desember tahun 1949 di Den Haag dan bayangkan sekian puluh tahun Indonesia mengambil ini dari Papua mau dibayar seperti apa,” tutupnya. (fia/ade/nat)
Continue Reading
Sumber: [1]