Papuanesia.id –
Victor Yeimo: Saya Berjuang Karena Rasisme, Dakwaan ini Adalah Penuh dengan Asumsi Liar yang Dibuat daripada yang Sebenarnya.
JAYAPURA-Sidang perdana dengan terdakwa Juru Bicara KNPB Victor Yeimo (VY) dengan agenda pembacaan dakwaan digelar di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (21/2). Persidangan yang dimulai pukul 10:33 WIT dikawal ketat aparat TNI-Polri.
Di dalam ruang persidangan, para keluarga, kerabat hingga Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo turut hadir. Terdakwa Victor sendiri terlihat mengenakan kemeja bermotif hitam putih.
Sebelum pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dibacakan, VY menyampaikan kepada majelis hakim yang memimpin persidangan saat itu untuk menghargai hak kesehatannya untuk bisa mendapatkan perawatan lanjutan.
Sementara itu JPU dalam dakwaannya membacakan bahwa terdakwa Victor Federik Yeimo bersama-sama dengan Agus Kossay, Buhctar Tabuni, Ferry Kombo, Alexander Gobay (perkara pidana sudah mempunyai kekuatan hukum tetap) pada waktu yang sudah tidak diketahui secara pasti sekira tahun 2008 hingga 29 agustus tahun 2019 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu di tahun 2008 hingga tahun 2019 bertempat di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura Provinsi Papua atau setidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah Pengadilan Negeri Klas 1 A Jayapura yang mengadili, memeriksa dan memutuskan perkara ini. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara.
Dalam dakwaannya, JPU juga membacakan terkait dengan pembentukan ULMWP termasuk penurunan bendera merah putih saat aksi demo di depan Kantor Gubernur Papua pada tahun 2019.
VY di hadapan Majelis Hakim dan JPU menyampaikan dirinya bertanggung jawab sebagai subjek hukum di depan pengadilan. Untuk itu, dirinya menolak dilibatkan bersama-sama dengan subjek hukum yang lain. “Jika hendak mengadili Buchtar Tabuni, ULMWP, KNPB dan pengurusnya silakan adili mereka. Namun, jika ada kasus politik lain di luar daripada kejadian rasis maka silakan itu diadili dan itu sudah diadili,” tegasnya.
VY mengaku, secara objektif dirinya dihadiri hanya karena keterlibatannya dalam aksi rasisme yang terjadi pada tanggal 19 Agustus tahun 2019 silam.
“Bapak hakim yang mulia, rasis musuh kita bersama. Musuh bapak hakim, musuh bapak jaksa, musuh semua rakyat Papua, musuh semua rakyat Indonesia dan musuh seluruh dunia. Ini musuh bersama sama. Tanggal 19 Agustus tahun 2019, semua orang Papua terpukul. DPRP, gubernur dan semua orang yang ada di atas tanah ini terpukul dengan aksi rasis. Saya sebagai manusia, saya bukan binatang, saya bukan monyet. Saya terpukul dan saya terlibat dalam aksi rasis. Saya punya hak untuk membela bangsa saya, bangsa saya bukan bangsa binatang, bangsa saya adalah bangsa manusia,” papar VY di hadapan majelis hakim.
Lanjut VY, jika kasusnya dipolitisasi, maka dirinya meminta dengan hormat bukan jalur politik untuk selesaikan seluruh persoalan di Papua. Menurutnya, hukum tidak akan pernah selesaikan persoalan politik. Dirinya menyebutkan bahwa apabila hendak menyelesaikan semua kejahatan kemanusiaan yang ada di Papua, maka silakan membuka ruang yang lain.
“Saya bertanggung jawab terhadap kasus keterlibatan saya dalam kasus rasisme 19 Agustus tahun 2019. Aksi itu saya memang pasang badan di situ. Alasan saya pasang badan karena saya tidak merencanakan. Dalam dakwaan jelas, saya tidak terlibat dalam perencanaan aksi apapun. Siapa yang terlibat sudah dibacakan dalam dakwaan dan itu sudah menjalani proses hukum,” kata Victor.
“Saya terlibat untuk mengamankan massa rakyat Papua menuju ke kantor Gubernur saat itu untuk sampaikan aspirasi mereka. Kami pulang dengan damai tanpa terjadi apa apa saat itu. Bahkan Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf A Rodja saat itu membuat pernyataan resmi di Cepos mengapresiasi aksi tanggal 19 Agustus 2019 yang berjalan aman dan damai,” sambung VY di hadapan majelis hakim.
Lanjut Victor, sementara tanggal 25 Agustus aksi berikutnya, dirinya mengaku sama sekali tidak terlibat baik secara organisasi apalagi terlibat dalam mengatur merencanakan semua itu.
Dalam dakwaan terpidana yang lalu, sudah mengakui mereka yang merencanakan dan tidak ada keterlibatan dirinya sama sekali. “Saya sendiri memang tidak terlibat dalam aksi selanjutnya, karena saya tahu aksi kedua itu diatur oleh pihak lain yang sengaja menghancurkan perjuangan damai di tanah Papua. Sengaja untuk mengadu domba antara pendatang dan orang Papua. Saya berjuang karena rasisme, saya katakan bahwa dakwaan ini adalah penuh dengan asumsi-asumsi liar yang dibuat daripada kasus sebenarnya,” tegas VY.
Mengenai aksi 19 Agustus tahun 2019 lalu, VY mengaku ada orasi saat itu dan orasi itu bukan saja disampaikan dirinya melainkan DPRP, Gubernur juga sampaikan orasi. Bahkan, semua orang Papua saat itu sampaikan keluh kesahnya.
“Kalau saya harus disalahkan dan diadili hari ini, kenapa mereka tidak diadili. Saya menolak dakwaan yang dibacakan JPU secara subjektif dan objektif dilakukan fakta pengadilan umum tindakan tersebut. Saya merasa sama sekali tidak bersalah dalam kasus ini, karena keterlibatan saya dalam aksi adalah melawan rasisme. Dan rasisme adalah musuh bersama dan kita harus lawan itu,” ungkapnya.
“Saya menghadiri proses hukum berjalan tapi saya mau seadil-adilnya, sesuai dengan fakta hukum dan fakta kejadian. Hingga saat ini, konflik di Papua tidak berhenti. Bapak hakim yang mulia, kita tidak akan pernah selesaikan konflik Papua dengan senjata dan hukum. Kita akan selesaikan persoalan Papua dengan jalan damai, dialogis secara bermartabat,” tambah VY.
Ia juga memohon agar kasus ini dipilah, mana kasus hukum dan mana kasus politik. Kalaupun melibatkan dirinya dalam kasus poltik, maka ruangannya adalah beda lagi.
“Jika melibatkan saya dalam kasus politik, maka ruang terbaik bagi masa depan kemanusiaan adalah ruang dialog. Bukan berbicara di Pengadilan, saya hadir di sini untuk kedua kalinya. Dakwaan ini terus terang saya tolak dan saya harap bapak hakim yang mulia dapat melanjutkan persidangan sesuai fakta subjektif dan obektif di lapangan,” pinta VY.
Sementara itu, Hakim Ketua Eddy Soeprayitno S. Putra SH., MH, memerintah kepada jaksa bahwa meskipun perkara ini dipindahkan di Lapas Abepura, namun tetap memperhatikan kesehatan dari terdakwa, agar kesehatan terdakwa terus membaik.
“Obat yang diperlukan terdakwa benar-benar direspon. Ventilasi udara diperhatikan dan kesehatan dari terdakwa harus diperhatikan,” pintanya. Hakim menyampaikan bahwa terdakwa masih perlu pengobatan untuk kesehatannya.
Sementara itu, kuasa hukum dari terdakwa Gustaf R. Kawer, SH. M.Si. menyampaikan rasisme adalah musuh aparat penegak hukum, musuh warga Indonesia dan warga internasional. Sehingga harus ditolak. “Jika hari ini disidang berarti aparat mendukung rasisme,” tegasnya.
Dikatakan Gustav, untuk sidang berikutnya yang dijadwalkan pada Jumat (25/2) mendatang yaitu agenda eksepsi (keberatan), pihaknya akan membantah, karena dari sisi waktu, tempat, uraian jaksa semuanya kabur. Dakwaan menurutnya banyak menggabungkan dengan peristiwa lain seperti ULMWP, eksodus dari Jawa dan subjek lainnya. “Kita siap untuk eksepsi pada sidang Jumat mendatang,” ucap Gustav.
Ia juga menyampaikan kondisi Victor dalam keadaan sakit saat mengikuti proses persidangan. Selain itu, hakim mengeluarkan penetapan penahanan terhadap VY di Lapas Abepura.
“Kalaupun di Lapas, kita tawarkan untuk tempatnya harus tersendiri. Sirkulais udara harus layak, dikunjungi keluarga dan perawat untuk memastikan kondisi kesehatannya dalam menjalani masa pengobatan. Terlebih Victor sakit TBC kronis yang berbahaya buat yang lain juga diri dia sendiri, obat program harus berlanjut terus,” bebernya.
Gustav juga menanggapi terkait pengamanan yang dianggap begitu berlebihan saat persidangan. Padahal sidang tersebut sesuai asas peradilan pidana yang terbuka untuk umum. Sehingga siapapun bisa datang untuk menghadirinya termasuk warga umum.
“Di pengadilan, warga dihambat untuk menghadiri sidang. Kalau ini terjadi terus maka negara ini melakukan pelanggaran HAM dalam kebebsan berekspresi. Harusnya ini tidak boleh. Saya harapkan pengamanam tidak perlu terlalu berlebihan, tetap dijaga aparat tapi jangan terlalu berlebihan. Siapa saja boleh datang asalkan tidak ada alat tajam,” tutupnya.
Sementara itu, Kabag Ops Polresta Jayapura Kota, AKP. Langgeng menyampaikan, pihaknya menurunkan sebanyak 305 personel terdiri dari TNI-Polri untuk mengamankan jalannya persidangan.
Bukan hanya personel yang diturunkan, tim anarki lengkap dengan barracuda hingga AWC juga diturunkan dengan alasan keamanan.
“Sebanyak 305 personel gabungan ini melaksanakan pengamanan baik di dalam gedung Pengadilan maupun di luar gedung Pengadilan, selain itu ada juga anggota yang melakukan Patroli di wilayah heram dan Kotaraja,” kata Kabag Ops kepada Cenderawasih Pos.
Dikatakan Kabag Ops, yang tidak punya kepentingan di Pengadilan dilarang untuk masuk ke dalam ruang Pengadilan karena alasan keamanan. Bahkan, pintu gerbang Pengadilan dijaga ketat aparat.
Pantauan Cenderawasih Pos di lapangan, banyak massa dari VY yang duduk di luar Pengadilan lantaran tidak diizinkan untuk masuk. Sementara di ruang sidang, banyak kerabat dan keluarga dari VY.
Sidang dipimpin Hakim Ketua Eddy Soeprayitno S. Putra SH., MH, Mathius, S.H., M.H. hakim anggota dan Andi Asmuruf, S.H dengan Sih Twi Yanti, SH sebagai Panitera Pengganti). Sementara Pieter Dawir, SH., MH, Achmad Kobarubun, SH dan Yanuar, SH sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Adapun penasehat hukum terdakwa yakni Emanuel Gobay, SH Ketua Tim Koalisi Penegakan Hukum dan HAM Papua/Direktur LBH Papua, Latifa Anum Siregar, SH.MH, Michael Himan, SH.,MH, Yulius Lala’ar, S.H, Mersi Fera Waromi, SH, Apilus Manufandu, SH, Yuliana Langowuyo, SH, Yustina Haluk, SH, Dodo Dwi Prabi, SH, Hermon T. Sinurat, SH, Jeff Sangkek, SH dan Gustaf R. Kawer, SH. M.Si.(fia/nat)
Continue Reading
Sumber: [1]