Tradisi tanam sasi merupakan salah satu budaya yang cukup populer di Papua. Memang daerah satu ini memiliki keunikan tersendiri di daerah Indonesia. Oleh sebab itu, kamu akan melihat banyak tradisi yang menarik di sana.
Pengertian Tanam Sasi
Melansir dari Wikipedia, Tanam Sasi merupakan upacara adat kematian yang berkembang di Kabupaten Merauke. Lebih tepatnya dilaksanakan oleh suku Marind atau Marind-Anim.
Suku Marind terletak di wilayah dataran luas Papua Barat. Kata Anim mempunyai arti laki-laki, dan kata anum mempunyai arti perempuan. Jumlah penduduknya sebanyak 5000-7000 jiwa.
Sasi mempunyai arti sejenis kayu yang menjadi media utama dari rangkaian upacara adat kematian. Kayu Sasi tersebut ditanam selama 40 hari setelah kematian seseorang yang ada di daerah tersebut. Sasi kemudian akan dicabut kembali setelah 1.000 hari ditanam.
Tanam Sasi selalu dilaksanakan oleh suku Marind, dan berdampak kepada hasil ukiran kayu khas Papua yang menjadi terkenal hingga ke mancanegara.
Filosofi Tanam Sasi
Sasi bukan hanya kayu biasa karena telah ditanam untuk tradisi Tanam Sasi. Terdapat memiliki arti khusus atau filosofi tersendiri bagi suku Marind. Makna yang mereka berikan pada kayu ini melalui ukirannya adalah:
- Ukiran khas dari Papua melambangkan kehadiran para leluhur.
- Sebagai tanda keadaan hati bagi masyarakat Papua, seperti menyatakan rasa sedih dan bahagia.
- Sebagai simbol kepercayaan dari masyarakat melalui motif manusia, hewan, dan tumbuhan di atasnya.
- Dan sebagai simbol keindahan dalam bentuk karya seni dan mahakarya. Juga, itu mewakili kenangan nenek moyang mereka.
Prosesi Tanam Sasi
Pada prosesi Tanam Sasi, masyarakat memiliki tarian tradisional untuk ditampilkan. Tarian tersebut dinamakan Tari Gatsi. Tari Gatsi merupakan salah satu tarian khas suku Marind, buktinya suku tersebut masih menjaga adat dan budayanya.
Tarian ini tidak hanya dipentaskan pada saat Tanam Sasi tetapi juga dalam festival Tusuk Telinga. Selama pertunjukan, para musisi memainkan alat musik tradisional dari Papua yang disebut Tifa.
Tifa adalah alat musik yang bentuknya seperti gendang kecil atau seperti dogdog. Sangat istimewa karena terbuat dari kayu susu. Kayu ini merupakan kayu keras lokal yang hanya dapat ditemukan di hutan Papua Barat. Sedangkan bagian gendang tifa terbuat dari kulit rusa atau kulit biawak yang telah diolah sehingga menghasilkan suara musik yang indah.
Masyarakat setempat menggunakan daun susu dan kulit kayu sebagai obat. Daunnya bersifat antipiretik, antimalaria, dan antihipertensi, sedangkan kulit kayunya memiliki rasa pahit. Dapat digunakan sebagai ekspektoran, kram menstruasi, dan untuk menurunkan gula darah. Kadang-kadang, mereka bahkan menggunakannya sebagai obat cacing (penyakit cacing). Air yang digunakan untuk membilas kulit kayu dipercaya dapat mengobati malaria dan demam.
Masyarakat setempat percaya tanaman pohon susu adalah rumah bagi roh-roh yang sudah mati. Di Desa Tekorejo, orang menggunakan kayu ini untuk mencegah roh jahat.
Tari Gatsi memiliki makna tertentu bagi masyarakat Suku Marind untuk selalu mematuhi adat budaya yang ada di masyarakat dan melestarikan tradisi mereka.
Tata Cara Mengurus Jenazah
Tata cara dalam mengurus jenazah sama dengan yang dilakukan oleh suku Asmat. Pertama, jenazah diolesi oleh suatu bahan alami, hasilnya seluruh tubuh jenazah berwarna hitam.
Posisi jenazah dalam keadaan duduk, dan siap diletakkan dalam perapian. Hingga akhirnya jenazah tersebut menghitam secara menyeluruh. Ritual tambahan yang biasa dilakukan ada saat upacara kematian yaitu memotong ruas jari tangan, lalu diakhiri dengan nyanyian khas dari Papua.
Memotong ruas jari bila melihat sisi kemanusiaan tentulah sangat tidak wajar. Tapi, bagi masyarakat Papua hal ini merupakan suatu lambang kepedihan yang mendalam atas keluarga yang telah meninggal.
Ruas jari merupakan simbol kerukunan satu keluarga. Ruas jari dipotong menggunakan alat tradisional, yaitu kapak batu, bentuknya tumpul dan keras.
Walaupun menimbulkan rasa sakit, tradisi ini tetap dilaksanakan karena bentuk dari kesetiaan kepada keluarga. Masyarakat Papua mayoritas beragama Katolik.
Meskipun begitu upacara adat tersebut tetap dilakukan. Karena hukum adat di sana masih kuat, dan harus dikerjakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.